Minggu, 30 Oktober 2016

0

Sejarah Pendidikan Tinggi di Indonesia

|


Secara umum sejarah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya baru dimulai pada awal abad ke-20 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada tahun 1920. Namun demikian cikal bakal pendidikan tinggi di Indonesia sudah disemai oleh pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19 dengan didirikannya School tot Opleiding voor Indische Arsten (STOVIA), sebuah lembaga pendidikan dokter Jawa di Batavia. Lembaga pendidikan tersebut untuk sementara mengambil alih peran yang mestinya dimainkan oleh lembaga pendidikan tinggi, mengingat STOVIA ketika pertama kali didirikan tidak lebih dari sekolah menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun. STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi baru pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Pada periode berikutnya didirikan pula Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtkundigen) pada tahun 1909 di kota yang sama, dan sekolah dokter di Surabaya pada tahun 1913 yang diberi nama Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) dengan masa studi tujuh tahun.

Dengan berdirinya STOVIA dan NIAS maka di Indonesia telah ada dua lembaga pendidikan tinggi bidang kedokteran yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Adalah menarik mengapa cikal-bakal perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga pendidikan kedokteran bukan lembaga pendidikan teknik atau pendidikan hukum. Hal ini terkait erat dengan persepsi orang-orang Barat yang tinggal di Indonesia pada waktu itu yang memandang bahwa alam Indonesia dan perilaku keseharian masyarakat merupakan sumber penyakit. Indonesia yang berada di wilayah tropis merupakan lahan yang subur untuk berkembangbiak penyakit. Di samping itu perilaku sehari-hari masyarakat juga amat tidak sehat. Rumah-rumah dibuat dari bahan seadanya seperti dari anyaman bambu dan atap dari ilalang yang merupakan tempat yang amat disenangi oleh tikus. Buang air besar juga dilakukan di sembarang tempat yang tentu saja menjadi media yang efektif untuk penyebaran penyakit. Perilaku masyarakat yang amat tidak sehat dan kondisi alam tropis yang amat lembab dengan curah hujan yang tinggi menjadi media yang efektif untuk terjangkitnya wabah penyakit. Kondisi semacam ini amat menakutkan penduduk Eropa di yang tinggal Indonesia.[1]

Berbagai usaha dilakukan agar mereka tidak tertular berbagai penyakit tropis. Maka didirikanlah perguruan kedokteran sehingga lulusannya diharapkan dapat berperan aktif dalam mencegah timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian lembaga pendidikan kedokteran pada awalnya adalah semata-mata untuk kepentingan masyarakat Eropa. Pengobatan dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat pribumi pada waktu itu pada hakekatnya adalah untuk menangkal agar penyakit tidak menjalar dan menjangkiti masyarakat Eropa.

Ketika kebutuhan akan tenaga medis semakin tinggi, maka pemerintah kolonial bermaksud untuk memperluas pendidikan dokter tidak hanya di Batavia tetapi juga di Surabaya. Gagasan ini muncul pada tahun 1911 yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menambah jumlah dokter  serta mempertimbangkan laporan-laporan bahwa sistem pendidikan dokter yang selama ini berjalan perlu mendapat perbaikan.[2] Namun upaya pengembangan tersebut sempat ditentang oleh dokter-dokter Eropa lulusan negeri Belanda. Menurut mereka pendirian lembaga pendidikan kedokteran bagi pribumi dan golongan Indo tidak akan menghasilkan dokter yang cakap. Ketika NIAS akan didirikan di kota Surabaya para dokter Eropa di Indonesia yang tergabung dalam Bond van Geneesheers mencela maksud pemerintah itu melalui buletin yang dikeluarkan oleh perkumpulan itu pada bulan September 1912. Mereka mengatakan bahwa golongan Bumiputra tidak cakap dalam bekerja dan cenderung malas. Golongan Bumiputra dianggap enggan jika pekerjaannya hendak diperiksa karena hasil pekerjaannya itu memang tak tahan uji dan kritik. Jarang sekali didapati sifat kemauan yang teguh pada mereka kecuali kemauan di dalam perkara melakukan segala kejahatan. Tak ada suatu kebaikan yang boleh diharapkan dari pihak mereka.[3]

Sebuah sindiran yang amat kasar dari dokter-dokter Eropa terhadap kelompok masyarakat Indo di Indonesia. Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa pada masa kolonial pembentukan berbagai lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi didasarkan atas sentimen rasial dan berdasarkan status sosial.[4] Walaupun muncul kritik yang sangat tajam dari perkumpulan dokter Eropa namun pada tahun 1913 pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi kedokteran di kota Surabaya yang diberi nama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS). Pada awal berdirinya lembaga pendidikan dokter ini dipimpin oleh Dr. A.E. Sitsen yang berasal dari STOVIA Batavia.[5]

            Sebagai bagian dari sistem kolonial, pendidikan pada periode ini bersifat elitis dan hanya menyentuh kalangan terbatas. Golongan Bumiputra yang tersentuh sistem pendidikan hanya terbatas pada kelompok aristokrat, yaitu kelompok yang secara aktif dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat untuk mengesploitasi kekayaan bumi Indonesia. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bersentuhan dengan sistem pendidikan modern hanya pada level tertentu saja yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan mobilitas vertikal secara maksimal. Eskploitasi kolonial yang berbasis pada kekuasaan tradisional telah memaksa pemerintah kolonial untuk memberdayakan keluarga-keluarga penguasa tradisional melalui saluran pendidikan modern. Mereka sadar bahwa anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional suatu saat akan menjadi bagian dari kelompok yang akan memperlancar usaha-usaha pemerintah kolonial untuk mengelola negara jajahan yang sedang mereka usahakan.

            Gagasan awal berbagai sekolah khususnya pembukaan lembaga pendidikan tinggi oleh pemerintah kolonial adalah sebuah kebijakan pendidikan yang “melayani kepentingannya sendiri.” Dengan kebijakan ini maka tercipta pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara minoritas kecil pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas atau keluarga aristokrat dan sebagian besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Secara kasat mata pembukaan THS pada tahun 1920 di kota Bandung adalah implementasi dari kebijakan untuk melayani kepentingannya sendiri tersebut. Persis dengan kebijakan pembukaan lembaga pendidikan dokter di Indonesia, sebelum THS berdiri kebutuhan akan tenaga teknik terdidik yang diperlukan untuk membangun berbagai infrastruktur fisik yang mendukung kekuasaan kolonial di Indonesia disuplai dari lulusan pendidikan teknik di Eropa khususnya dari negeri Belanda. Namun dengan meletusnya Perang Dunia Pertama hubungan antara negeri belanda dengan Indonesia menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut menyulitkan pengiriman tenaga teknik terdidik ke Indonesia serta sebaliknya, sulitnya mengirim lulusan sekolah menengah di Indonesia ke negeri Belanda untuk dididik di perguruan teknik di negeri induk tersebut. Akibatnya pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang berat dan tidak dapat berfungsi dengan lancar. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa Indonesia harus memiliki lembaga pendidikan sendiri dan dengan demikian pula akan meningkatkan kehidupan intelektual di negeri ini.

            Upaya untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia bukan hal yang mudah, walaupun hal tersebut bertujuan untuk melengkapi sistem kolonial yang sedang berjalan. Pada awal abad ke-20 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia “belum matang” untuk berdirinya suatu perguruan tinggi karena belum memiliki sekolah menengah yang memadai yang merupakan sumber murid yang potensial yang akan didik di perguruan tinggi. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menujukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademis berkaitan dengan prestasi yang diraih oleh para lulusan STOVIA.

            Di balik keraguan tersebut pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan dibentuknya perguruan tinggi teknik karena didesak keadaan bahwa kebutuhan akan tenaga teknik terdidik harus segera dipenuhi. Pada tahun 1918 dibentuk Technisch Onderwijs Commissie, suatu panitia pendidikan teknik yang bertugas memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara mengatasi kebutuhan pendidikan teknik lanjutan. Panitia ini diketuai oleh J.CH. de Vooght, seorang pensiunan mayor jenderal dan anggotanya antara lain kepala-kepala dinas pemerintahan, seperti kepala irigasi, pertambangan, tenaga air, listrik, kereta api, kepala-kepala pabrik, wakil departemen pengajaran, kepala sekolah teknik menengah, dan inspektur sekolah menengah. Dalam peremian panitia ini gubernur jenderal menegaskan bahwa panitia ini dapat mulai bekerja dengan anggapan bahwa perlunya pendidikan teknik tinggi, dan tugas panitia ini adalah mencari jalan terbaik untuk mewujudkannya. Pada tahun 1920 sebuah perguruan teknik tinggi pun berhasil didirikan di Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Lembaga pendidikan teknik ini menjadi lembaga pendidikan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia dengan kurikulum perguruan tinggi dan menghasilkan lulusan seorang engineer. Perguruan tinggi yang hanya memiliki satu jurusan yaitu de afdeeling der Weg en Waterbouw tersebut pada tahun 1924 secara resmi diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah dengan status sebagai perguruan tinggi negeri. Pada tahun yang sama Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundigen) juga dinaikan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1927 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) yang merupakan kelanjutan dari STOVIA.

            Berdirinya lembaga pendidkan tinggi di Indonesia pada awal abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya kebijakan Politik Etis yang awalnya disuarakan oleh para pendukung Van Deventer di negeri Belanda. Ia yang dengan lantang menggemakan ide tentang “Hutang Kehormatan” kemudian disauti oleh pidato Ratu Belanda bahwa Nederland mempunyai kewajiban moral untuk memenuhi terhadap penduduk di Indonesia. Kemerosotan kesejahteraan harus diatasi dengan sebuah perhatian khusus. Politik Etis menentang politik eksploitasi materialistis pada masa silam dan harus menggantinya dengan sikap laissez faire yang lebih manusiawi. Politik ini menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Dengan mengatasnamakan Politik Etis sekolah-sekolah dibuka untuk mengimplementasikan ide-ide yang dilahirkan oleh Van Deventer. Pendidikan dan emansipasi menjadi inti dari Politik Etis. Pendidikan di Indonesia harus juga diarahkan kepada tujuan untuk membebaskan rakyat secara berangsur-angsur dari ketidakmatangan yang dipaksakan agar mandiri di atas kaki sendiri.

            Namun sejatinya gagasan Politik Etis tidak pernah bisa berjalan sebagaimana dibayangkan oleh para pengagasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai implementasi dari gagasan besar Politik Etis tidak pernah menemukan momentumnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara luas. Para alumni perguruan tinggi yang dihasilkan pada periode ini alih-alih akan menjadi penuntun rakyat Indonesia menuju kesejahteraan yang diidam-idamkan oleh para pengagas ide besar tersebut, justru pada kenyataannya sebagian besar menjadi bagian dari sistem yang berjalan atas kehendak para pemodal asing. Pendidikan tinggi pada kenyataannya berfungsi untuk menopang kekuasaan kolonial yang disangga oleh para pemodal swasta. Namun demikian masih terdapat celah dari sistem pendidikan yang sepenuhnya dimodali dan dipupuk oleh semangat kolonialisme. Celah tersebut tumbuh dan membesar dari para mahasiswa yang sadar bahwa di pundak mereka cita-cita kemerdekaan Indonesia disandarkan. Pada periode ini gagasan kesadaran berbangsa tumbuh dari persemaian pendidikan tinggi yang disirami oleh semangat kebebasan yang mulai tumbuh. Dari STOVIA lahirlah Budi Utomo yang dipelopori oleh salah seorang siswanya, Soetomo (Dr.), dari THS lahirlah Soekarno (Ir.) yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia yang menuntun bangsa ini menuju kemerdekaan.

             Celah sempit yang terbuka di pendidikan tinggi yang lahir dari rahim Politik Etis pada gilirannya menjadi pintu besar yang membuka kesadaran baru rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dengan kelompok intelektual dari perguruan tinggi sebagai intinya. Konsepsi ini kemudian menjadi pembenar bahwa perjuangan melawan penjajah pada periode awal yang menekankan pada perlawanan fisik tidak cukup efektif tanpa keterlibatan kelompok intelektual yang dibina di lembaga pendidikan tinggi, karena dari kelompok inilah kesadaran untuk membangun bangsa yang modern lahir.

            Gagasan pergerakan nasional yang lahir di lembaga pendidikan tinggi jika dilihat dari perspektif kolonial merupakan sebuah anomali karena gagasan awal didirikannya pendidikan tinggi di Indonesia adalah dalam rangka menopang kekuasaan kolonial itu sendiri. Namun dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi awal tersebut telah melahirkan kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat, yang pada awalnya menjadi landasan berdirinya berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, tidak kunjung tiba. Hal ini terjadi karena Politik Etis menyajikan slogan yang indah untuk menutupi metode-metode ekpsloitasi modal raksasa. Secara perorangan mungkin bersikap etis terhadap bangsa Indonesia, akan tetapi perusahaan tidak didasarkan atas motif etis melainkan motif ekonomis.

            Pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial pada gilirannya justru membuka kotak pandora. Hal tu disebabkan karena pendidikan tinggi yang berorientasi Barat, walaupun terbatas pada golongan kecil terutama dari golongan aristokrat tradisional dan dimaksud untuk menghasilkan pegawai, pada gilirannya telah menimbulkan elit intelektual baru. Elit inilah yang kemudian menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Pendidikan tinggi yang pada awalnya dipenuhi gagasan asimilasi untuk mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia pada kenyataannya justru menjauhkan mereka.

            Perubahan drastis pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia tejadi ketika Belanda bertekuk lutut kepada tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang yang dihinggapi sikap paranoid kepada bangsa Barat melakukan proses de-eropanisasi secara cepat. Bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa sehari-hari maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ribuan buku referensi berbahasa Belanda dilarang digunakan di sekolah-sekolah, dan ada kemungkinan dihancurkan, yang kemudian diganti dengan buku-buku berbahasa Indonesia. Dilihat dari aspek pengembangan bahasa Indonesia, kebijakan tersebut menguntungkan, namun dilihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan kebijakan tersebut sangat merugikan karena buku-buku yang dimusnahkan tidak mendapatkan gantinya yang setara. Pada tahun 1942 semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia ditutup untuk beberapa saat, sampai kemudian dibuka kembali dengan corak yang amat berbeda. Jaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pendidikan dan pengajaran jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

            Pembukaan kembali beberapa perguruan tinggi di Indonesia dilakukan pada tahun 1943 setelah kurang lebih satu tahun pemerintah pendudukan Jepang berkuasa. Seperti halnya pemerintah kolonial Belanda, tujuan pembukaan kembali perguruan tinggi oleh Jepang juga dalam rangka mobilisasi kaum terdidik untuk mendukung perang yang dibayangkan akan berakhir dengan bersatunya kawasan Asia dibawah pimpinan Jepang. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka pada periode ini antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari Geneeskundige Hogeschool dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung yang merupakan kelanjutan dari Technische Hogeschool. Di samping itu Jepang juga membuka pula Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta, yang mirip dengan lembaga serupa pada masa kolonial Belanda yang disebut OSVIA, serta membuka Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.

            Pembukaan kembali lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki aspek strategis bagi pemerintah pendudukan Jepang. Menurut Jepang melalui lembaga pendidikan akan dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Adapun keberhasilan konsepsi tersebut sangat tergantung kepada kemenangan dalam “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karena itu segala usaha harus ditujukan kepada memenangkan perang itu. Dari beberapa perguruan tinggi yang dibuka tersebut yang nampak menonjol peranannya pada periode ini adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Tradisi “memberontak” yang sudah berlangsung di lembaga pendidikan ini pada masa kolonial Belanda nampaknya diteruskan oleh para mahasiswa Ika Daigaku walaupun dengan corak, strategi, dan bentuk yang berbeda.

            Pemerintahan pendudukan Jepang yang sangat militeristik yang merupakan ciri dari pemerintahan fasis merembet pula ke dalam lembaga pendidikan tinggi. Hampir tidak ada celah sedikitpun bagi para mahasiswa untuk mengobarkan semangat nasionalisme karena para pemangku perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dengan disiplin militer yang amat ketat. Walaupun nampak tidak ada celah, para mahasiswa yang pernah dididik di lembaga pendidikan pada masa kolonial Belanda tetap memiliki tak-tik dan strategi yang jitu untuk melawan pemerintah pendudukan Jepang walaupun tidak secara terang-terangan, alias perlawanan dari bawah tanah. Dinamika perlawanan bawah tanah oleh kelompok intelektual dari perguruan tinggi pada masa pendudukan Jepang telah menciptakan mitos tentang Kelompok Mahasiswa Prapatan 10 yang legendaris. Kelompok tersebut menjadi pelopor perlawanan mahasiswa terhadap aturan penggundulan rambut bagi mahasiswa Ika Daigaku yang dirasakan sangat menghina martabat bangsa Indonesia. Walaupun perlawanan tersebut kurang bergema secara nasional, namun gerakan dalam celah yang amat sempit itu telah menjadi sebuah simbol tentang perlunya membela martabat bangsa di tengah sistem pemerintahan militer yang amat represif.

Perlawanan mahasiswa pada masa pendudukan Jepang tidak pernah terlembaga dengan baik serta  mampu mengobarkan semangat nasionalisme yang terlembaga pula. Namun demikian sistem pendidikan yang dikembangkan pada periode ini pada gilirannya akan berperan penting bagi periode sesudahnya, yaitu periode  kemerdekaan, terutama menyangkut sumber daya manusia yang berhasil digodok di perguruan tinggi pada waktu itu walaupun hanya dalam waktu yang relatif singkat. Alumni perguruan tinggi periode Jepang menjadi generasi yang siap mengendalikan roda pemerintahan yang masih sangat baru. Hal tersebut tidak saja karena mereka dibekali dengan dengan ilmu kemiliteran yang sangat penting pada periode awal kemerdekaan, namun yang paling penting adalah karena mereka merupakan generasi yang paling dekat dengan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh penting yang lahir dari rahim perguruan tinggi periode Jepang, utamanya dari Ika Daigaku antara lain adalah Soedjatmoko, Mahar Mardjono, Hasan Sadikin, Soedarpo Sastrosatomo, dan lain-lain yang masing-masing memiliki peranan yang amat besar pada masa awal kemerdekaan.

            Di tengah-tengah pusaran pemerintahan Jepang yang militeristik dan amat menekan sekelompok orang dari golongan Islam mencoba memanfaatkan situasi yang sedikit longgar untuk memikirkan pendidikan tinggi yang lebih bercorak Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai Islam. Hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu dapat dikatakan cukup baik, karena pemerintah pendudukan Jepang nampaknya ingin mengambil hati kelompok ini untuk membela kepentingan mereka. Jepang membiarkan, atau bahkan mendukung, ketika gabungan organisasi-organisasi Islam di Indonesia mendirikan Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia yang disingkat Masjoemi, yang merupakan kelanjutan dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibubarkan pada tahun 1943.

            Pada tanggal 1 April 1945, beberapa bulan menjelang Jepang bertekuk lutut, tokoh-tokoh Masjoemi berhasil merealisasikan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di Jakarta. STI merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal mahasiswa STI bukan hanya dari kalangan Islam saja, karena beberapa orang mahasiswa ternyata beragama Protestan.

            Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut setelah dua kota penting, Hiroshima dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menyusul menyerahnya Jepang, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bagian dari proses Indonesianisasi dari semua sistem yang ada di Indonesia, pemerintah Indonesia kemudian membubarkan Ika Daigaku dan mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Proses pendidikan yang berlangsung di lembaga pendidikan ini berlangsung dengan amat memprihatinkan dengan berbagai kekurangan di sana-sini. Ketika proses pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengah berlangsung gelombang perang muncul yang didahului dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin mengamankan tawanan Jepang, antara bulan September dan Oktober 1945 pasukan Sekutu memasuki kota-kota besar di Indonesia.[6] Di Jakarta pendaratan masukan Sekutu disambut dengan kontak senjata oleh rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu membuat kegaduhan. Rakyat Indonesia yang mencurigai adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu dengan menyelundupkan tentara Belanda menjadi marah. Di mana-mana kedatangan pasukan Sekutu memunculkan peperangan. Akibatnya kota Jakarta menjadi tidak aman. Pada bulan Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindah dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Kondisi ini berpengaruh juga terhadap jalannya proses pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Agar proses pendidikan tetap berjalan, bersamaan dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia maka diungsikan pula Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dengan cara menyebar tempat perkuliahan di tiga kota yaitu di Solo, Klaten, dan Malang.[7] STI yang baru beberapa bulan menyelenggarakan perkuliahan di Jakarta juga mengikuti jejak Ibukota Republik Indonesia, memindahkan tempat perkuliahannya di Yogyakarta. STI membuka kembali perkuliahannya pada tanggal 10 April 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta.

Dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta maka Jakarta berada dalam kekuasaan pasukan Sekutu, tetapi secara de facto kota itu sebenarnya dibawah kekuasaan pasukan Belanda. Seperti kita ketahui bersamaan dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia, masuk pula tentara Belanda. Mereka kemudian melakukan pengoperan pemerintahan di tempat-tempat yang telah dikuasainya. Dengan dalih untuk menghindari bentrokan-bentrokan dengan rakyat Indonesia, maka panglima pasukan Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison menarik pasukan Belanda lama yang baru saja mendarat di Indonesia Timur ke Jawa.[8] Akibatnya kota-kota penting di Jawa segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda. Namun kedatangan tentara Belanda di Jawa, khususnya di Jakarta justru malah memancing perlawanan yang lebih besar dari rakyat setempat. Di tengah berkecamuknya perang, Belanda menduduki  kantor-kantor pemerintahan yang penting.

Di sektor pendidikan, Belanda juga mencoba menghidupkan lagi perguruan tinggi yang ditinggal mengungsi oleh otoritas yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Pada bulan Januari 1946, beberapa saat setelah Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Belanda mendirikan De Nood-universiteit, atau universitas darurat. Disebut sebagai universitas darurat karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan.[9] Universitas darurat ini memiliki lima fakultas dengan tempat kedudukan yang terpisah, yaitu fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas sastra dan filsafat berkedudukan di Jakarta, fakultas pertanian berkedudukan di Bogor, dan fakultas teknik berkedudukan di Bandung menempati bekas Technische Hogeschool.

Pada saat yang bersamaan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta juga menghidupkan kembali perguruan tinggi dengan mendirikan  Universitas Gadjah Mada pada tahun 1946 yang pada awalnya dikelola oleh sebuah yayasan yang diselenggarakan oleh beberapa tokoh pendidikan.[10] Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan bagian depan istananya (pagelaran) sebagai tempat perkuliahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ketika kuasaan Belanda di wilayah-wilayah pendudukan di Jawa semakin mantap, mereka juga mencoba memantapkan posisi mereka di bidang pendidikan tinggi. Pada bulan Maret 1947 De Nood-universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesia. Pada tahun yang bersamaan kekuasaan Belanda di Indonesia juga semakin kuat dengan dukungan militer yang kuat pula. Dengan sangat percaya diri pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Dengan gerak cepat pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Peristiwa ini kemudian memaksa Indonesia dan Belanda untuk menuju ke meja perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Perjanjian ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai “garis van Mook”, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda. Garis imajiner tersebut secara politis telah membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.

Secara kebetulan hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh Belanda pada masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Perletakan secara politis inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengembangkan Universiteit van Indonesia dengan membuka fakultas baru di wilayah pendudukan, yaitu di Surabaya dan di Makassar. Pada tanggal 1 Agustus 1948 di Surabaya dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan memanfaatkan peralatan dan gedung yang pada masa kolonial ditempati oleh NIAS. Di tempat yang sama Belanda juga membuka Tandheelkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Gigi). Fakultas Kedokteran yang berkedudukan di Surabaya pada awalnya dipimpin oleh Prof. Dr. A.B. Droogleever Fortuyn. Pada tanggal 8 Oktober 1948 di Makassar dibuka Faculteit der Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi).[11] Pendirian beberapa fakultas di kota yang berbeda, secara politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan cukup kuat.

Pada saat yang hampir bersamaan perguruan tinggi yang berada di wilayah Republik Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta juga melakukan bebagai konsolidasi agar perguruan tinggi pertama di wilayah Republik Indonesia tersebut berkembang dengan baik. Beberapa fakultas yang tersebar di beberapa daerah republik seperti Yogyakarta, Klaten, dan Solo dilebur menjadi satu. Pada tanggal 19 Desember 1949 secara resmi berdirilah Universitas Gadjah Mada yang berada dalam naungan Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Yogyakarta. Universitas ini menjadi universitas negeri pertama yang berada di wilayah Republik Indonesia pada saat wilayah Indonesia terpecah-belah secara politis dan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Pendirian Universitas Gadjah Mada sebagai sebuah institusi yang utuh tidak bisa dilepaskan dengan Konferensi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di kota Yogyakarta yang berlangsung pada 25 April sampai 1 mei 1947. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa salah satu masalah yang menghalangi kemajuan perguruan tinggi ialah karena perguruan tinggi yang telah ada pada waktu itu tidak bernaung di bawah satu kementrian. Ada yang masuk Kementrian kesehatan, Kementrian Pengajaran, Kementrian Kemakmuran, dan ada yang berada di bawah pengelolaan swasta. Konferensi menyarankan kepada pemerintah agar perguruan tinggi yang terpisah-pisah tersebut disatukan. Hasilnya adalah Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh Kementrian Pengajaran.

Sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Nopember 1949. Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada lahir. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-fakultasnya yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara Indonesia Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Gigi).

Republik Indonesia Serikat hanya bertahan kurang dari satu tahun karena menguatnya sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme pada umumnya dicurigai karena asalnya jelas sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Pemecah-belahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis memiliki dampak yang amat besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia karena eksistensi perguruan tinggi di wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah di wilayah Republik dan di wilayah federal. Perguruan tinggi di wilayah Republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah orang-orang Indonesia (Bumiputera) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas, sedangkan perguruan tinggi yang berada di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan staf pengajar yang hampir semuanya orang-orang Belanda yang cakap. Mereka juga sudah menempati gedung-gedung yang megah peninggalan masa kolonial. Keterpisahan pengelolaan perguruan tinggi tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang belajar di dua wilayah yang berbeda secara politis tersebut. Mahasiswa yang belajar di Universitas Gadjah Mada yang terletak di wilayah republik di Yogyakarta pada umumnya amat bangga. Kebanggaan itu lahir karena mereka belajar diwilayah “sendiri” Republik Indonesia dan di wilayah perjuangan. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai republiken, orang/mahasiswa republik.

Kuatnya sentimen pro-Republik telah mendorong bubarnya negara-negara federal. Sebagian besar rakyat di negara-negara federal buatan Belanda menghendaki agar kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia. Keinginan itu akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1950. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan.

Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin memantapkan posisinya menjadi universitas nasional. Sementara itu Universiteit van Indonesia yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia. Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat. Timbulnya perasaan semacam itu diikuti dengan penjungkirbalikan simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan romantisme masa kolonial yang menyengsarakan. Akibatnya simbol-simbol yang berbau kolonial dihancurkan dan diganti dengan simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia. Pengelolaan universitas tersebut juga berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia. Sampai lahirnya Universitas Airlangga pada tahun 1954, Indonesia pada waktu itu hanya memiliki dua perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitet Indonesia.

Indonesia terlahir sebagai sebuah negara kepulauan yang wilayahnya amat luas dan terbagi-bagi secara adminsitratif yang bertumpang tindih dengan suku-suku. Sentimen antar daerah dan suku amat tinggi walaupun konsepsi dasanya adalah negara kesatuan. Oleh karena itu sistem pendidikan harus didasarkan pada keadilan secara merata atas wilayah-wilayah administratif, jika pembagian secara kesukuan tidak memungkinkan karena banyaknya suku bangsa di Indonesia. Hal itu disadari betul oleh para pemangku pendidikan pada periode awal. Pendidikan tinggi diarahkan menjadi salah satu perekat bangsa, oleh karena itu antara tahun 1950-an sampai tahun 1980-an pemerintah Indonesia menggenjot pendirian universitas-universitas di hampir semua propinsi di Indonesia. Di beberapa kota besar yang merupakan simpul ke-Indonesiaan diusahakan berdiri satu perguruan tinggi negeri.

Perluasan universitas-universitas di Indonesia direalisasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 1 September 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Hasanuddin di Makassar, Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Andalas di Bukittinggi, Peraturan Pemerintah No. 37 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Padjadjaran, serta Peraturan Pemerintah No. 48 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Sumatera Utara di Medan. Selama periode 1950-an jumlah PTN yang didirikan berjumlah 12 buah. Pada periode ini perintisan pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru juga mulai dilakukan. Pada periode ini IKIP Bandung berdiri. Pada saat yang sama IKIP Malang dan IKIP Padang juga didirikan. Pada awalnya pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru tersebut masih merupakan bagian dari universitas, sebagai fakultas ilmu pendidikan. IKIP Malang merupakan bagian dari Universitas Airlangga Surabaya.

Pada periode ini bangsa Indonesia telah mengukuhkan bahwa universitas yang sudah tersebar di banyak kota besar merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka. Oleh karena itu ketika sentimen anti Belanda yang menguat pada akhir tahun 1950-an akibat diabaikannya hasil Konferensi Meja Bundar mengenai status Irian Barat, hal itu juga merembet ke universitas-universitas. Bahasa Belanda yang pada waktu itu masih diajarkan di beberapa fakultas di perguruan tinggi sempat dihentikan. Di Surabaya buku-buku referensi berbahasa Belanda sempat dikumpulkan dan akan dibakar, namun hal tersebut bisa dicegah. Beberapa universitas yang pada waktu itu masih memanfaatkan tenaga pengajar berkebangsaan Belanda bahkan sempat memulangkan dosen yang bersangkutan ke negerinya. Situasi ini menggambarkan bahwa perguruan tinggi pada saat-saat tertentu rentan terhadap intervensi politik. Hal ini tercermin pula pada masa Demokrasi Terpimpin, dimana perguruan tinggi juga terlibat secara aktif dalam proses penyebaran gagasan pribadi presiden yang dilembagakan oleh negara.

Peran penting perguruan tinggi pada awal kemerdekaan selain menjadi simbol persatuan bangsa juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang berkepanjangan. Pada tahun 1951 ketika pemerintah menghadapi desakan karena kekurangan tenaga guru SMA di luar Jawa, perguruan tinggi di Jawa secara serentak membentuk proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Selama kurang lebih sepuluh tahun program ini telah mengirim tidak kurang dari 1.600 mahasiswa dari universitas-universitas di Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa. Mereka ditempatkan di sekitar 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar Jawa. Keterlibatan secara intensif perguruan tinggi ke dalam dinamika masyarakat telah mengukuhkan lembaga tersebut bukan sebagai menara gading. Perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat, maka apapun yang menjadi keinginan sudah sewajarnyalah dikawal oleh perguruan tinggi.

Keterlibatan dunia perguruan tinggi pada setiap momen yang melibatkan masyarakat luas telah membuat pendidikan tinggi di Indonesia semakin memiliki bentuk dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Menyatunya perguruan tinggi dengan masyarakat kemudian dilembagakan dalam bentuk Tridharma Perguruan Tinggi, yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat melalui Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Pelembagaan keterlibatan perguruan terhadap dinamika masyarakat diperkuat dengan jargon bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan. Berkaca pada perjalanan sejarah lembaga tersebut, setiap perubahan besar di Indonesia sekurang-kurangnya melibatkan civitas academica, terutama sejak pendidikan tinggi mulai eksis. Maka tidak mengherankan jika goncangan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an juga melibatkan perguruan tinggi.

Berbagai ketidakberesan penyelenggaraan negara telah mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam pengoreksian secara total atas sistem yang berlaku. Organisas-organisasi mahasiswa baik organisasi ekstra maupun intra kampus bekerja sama dengan elemen masyarakat lain bahu-membahu melakukan pengkajian secara kritis, baik secara akademis maupun secara praktis dengan cara turun ke jalan. Hasilnya adalah sebuah perubahan politik mendasar pada tahun 1966 yang berjalan atas dorongan civitas academika di seluruh Indonesia. Pada saat goncangan politik melanda Indonesia, aspek pendidikan tetap merupakan prioritas pemerintah. Pada periode 1960-an perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah didirikan di mana-mana. Jumlahnya mencapai 29 buah. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik yang dari hari ke hari semakin meningkat.  Hal ini menandakan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pembangunan negara semakin memadai setelah beberapa tahun sebelumnya dilanda peperangan besar.

Perubahan paradigma penyelenggaraan negara mengiringi perubahan politik yang drastis. Indonesia memasuki sebuah periode yang kemudian populer sebagai periode Orde Baru. Indonesia yang pada periode sebelumnya terkesan mengurung diri dan anti terhadap modal asing secara berlahan-lahan membuka diri. Salah satu kebijakan ekonomi yang penting adalah membuka diri atas modal asing. Modal asing adalah elemen yang amat penting untuk menjalankan roda pembangunan. Kata “pembangunan” berkembang menjadi kata yang elitis dan digunakan oleh penguasa baru sebagai alat untuk merancang program apa saja yang mereka kehendaki. Perguruan tinggi sebisa mungkin juga diarahkan sebagai bagian dari paradigma baru tersebut. Masalah modal asing dan masalah pembangunan disikapi secara berbeda-beda oleh civitas academika. Sebagian mahasiswa bahwa curiga bahwa kebijakan untuk membuka masuknya modal asing secara tidak terkendali merupakan upaya menjual bangsa secara terselubung. Gerakan anti modal Jepang yang didengungkan oleh mahasiswa pada awal tahun 1970-an berubah menjadi malapetaka yang hampir saja menghanguskan ibukota negara pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa tersebut harus dipahami sebagai bagian dari sikap kritis civitas academica untuk melakukan berbagai ketidakberesan yang melanda bangsa. Pada periode ini perguruan tinggi sering dijadikan alat oleh perorangan atau kelompok tertentu untuk memuluskan keinginan politik mereka. Dalam beberapa hal, kondisi ini sering merugikan perguruan tinggi. Mahasiswa sering menjadi korban ambisi orang tertentu. Hal ini tentu saja menjadi kontraproduktif.

Terlepas dari segala kekurangan yang terjadi, pada era Orde Baru perguruan tinggi di Indonesia mengalami perkembangan yang amat pesat. Pendidikan tinggi memainkan peranan yang penting untuk mengisi setiap elemen negara. Pada periode ini pendidikan tinggi dilembagakan dalam satu direktorat jenderal tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pelembagaan pendidikan tinggi dalam lingkup keorganisasian tersendiri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terkandung maksud agar koordinasi antar perguruan tinggi lebih tertata.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan aspek pembangunan, perguruan tinggi diharapkan juga ikut bertanggung jawab atas pembangunan nasional. Hal ini menjadi kebijakan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi yang digariskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975. Secara teknis kebijakan tersebut dimaksudkan bahwa pendidikan tinggi harus memerankan diri sebagai penyedia tenaga ahli untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan kebijakan ini maka peran yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi harus sejalan dengan program-program yang digulirkan oleh pemerintah. Penambahan jumlah perguruan tinggi negeri juga terus dilakukan, sampai pada akhirnya semua propinsi memiliki perguruan tinggi, bahkan di beberapa propinsi jumlah perguruan tinggi negeri ada yang lebih dari tiga buah. Hal tersebut menandakan bahwa minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi semakin tinggi.

Selama duabelas tahun pertama pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Rencana pembangunan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah telah disokong oleh melonjaknya harga minyak pada tahun 1970-an. Berkah ini menetes pula kepada pendidikan tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa telah membuka lapangan kerja yang luas. Permintaan tenaga ahli lulusan universitas dari berbagai lembaga pemerintah dan swasta meningkat drastis. Hal itu tidak bisa dipenuhi secara maksimal oleh perguruan tinggi negeri. Kementrian pendidikan membuka kesempatan yang luas kepada perorangan, yayasan, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk mendirikan perguruan tinggi swasta. Dengan kebijakan tersebut maka selama periode 1980-an perguruan tinggi swasta tumbuh di mana-mana, bahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama jumlahnya meningkat drastis berlipat-lipat melampaui jumlah perguruan tinggi negeri. Selama periode 1980-an jumlah PTS yang berdiri di seluruh Indonesia sudah lebih dari seribu buah.

Pertumbuhan PTS yang demikian pesat tentu saja berdampak positif karena akan membuka peluang yang lebih luas bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Lulusan sekolah menengah yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri karena terbatasnya daya tampung dari lembaga tersebut kemudian disalurkan ke perguruan tinggi swasta. PTS berperan besar dalam menaikan angka partisipasi pendidikan tinggi. Untuk mempermudah koordinasi antar PTS serta untuk mengontrol kualitas proses belajar-mengajar di lembaga tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengelompokkan perguruan tinggi swasta berdasarkan zona tertentu. Masing-masing kelompok dibina oleh sebuah lembaga yang namanya Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Penyetaraan lulusan PTS juga dilakukan dengan ujian negara. Penyelenggaraan ujian negara bagi mahasiswa PTS bertujuan untuk mengontrol kualitas alumni PTS sehingga setara dengan lulusan perguruan tinggi negeri.

Meskipun perluasan PTS sangat menguntungkan bagi peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi akan tetapi hal ini mempunyai resiko yang besar terhadap mutu dan relevansi. Pada pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan drastis ketika jumlah mahasiswa PTS melampaui jumlah mahasiswa PTN. Selanjutnya pada awal tahun 1990-an jumlah lulusan PTS telah melampaui jumlah lulusan PTN. Kondisi ini memunculkan problem tersendiri mengingat dalam beberapa kasus kualitas mahasiswa PTS banyak yang berada di bawah standar.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka Ditjen Dikti secara sungguh-sungguh melakukan pembinaan mutu PTN dan PTS secara intensif. Usaha yang menonjol antara lain melalui pembenahan masukan-masukan instrumental yang menentukan mutu, di antaranya melengkapi berbagai sarana dan prasarana, meningkatkan mutu dosen, membenahi sistem pengendalian mutut melalui intsrumen-instrumen seperti sistem evaluasi, melakukan akreditasi melalui Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT), dan lain-lain. Peningkatan mutu dosen dilakukan dengan mendorong para dosen untuk melakukan studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk pendidikan di dalam negeri Ditjen Dikti mendorong perguruan tinggi yang sudah memiliki tenaga dosen yang memiliki syarat dan kualitas tertentu untuk mendirikan program pascasarjana. Program pascasarjana inilah yang akan mendidik dosen-dosen pada jenjang S2 dan S3, terutama untuk dosen-dosen yang tidak memiliki kesempatan belajar di luar negeri.

Formula pembiayaan studi lanjut bagi para dosen di dalam negeri dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan mendirikan Tim Menejemen Program Doktor (TMPD) dan kemudian dilanjutkan dengan diciptakannya BPPS. Untuk pembiayaan pendidikan di luar negeri Ditjen Dikti membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi dosen yang berminat untuk mencari beasiswa yang banyak disediakan oleh lembaga dan perguruan tinggi di luar negeri. Berbagai kerjasama antar negara dalam rangka pengiriman dosen juga dilakukan. Hasilnya cukup baik, ribuan dosen berhasil menempuh studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Secara umum penggunaan anggaran di Ditjen Dikti dilakukan dengan metode yang dikenal dengan istilah Planning, Programming, Budgeting System (PPBS) sebagaimana dikemukakan oleh Diriektur Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1975. Alokasi keseluruhan anggaran ditentukan dengan mempertimbangkan problematik serta urgensi sesuai dengan Kebijakan Dasar Perngembangan Pendidikan Tinggi.

Pengiriman dosen untuk studi lanjut di luar negeri menjadi bekal yang kuat untuk mendorong perguruan tinggi di Indonesia agar setara dengan perguruan tinggi di luar negeri. Dengan kata lain dosen-dosen yang telah mengikuti studi lanjut menjadi modal bagi perguruan tinggi menuju world class university, perguruan tinggi berkelas dunia.

Sesuai dengan rumusan jati diri pendidikan tinggi yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi, salah satu rumusannya adalah bahwa perguruan tinggi merupakan pusat riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan rumusan tersebut maka dosen di perguruan tinggi bukan hanya memerankan diri sebagai seorang guru yang bertugas untuk melakukan diseminasi ilmu pengetahuan. Seorang dosen juga merupakan seorang peneliti yang bertugas untuk menggali ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang telah digali tersebut kemudian didiskusikan secara kritis baik di kelas-kelas perkuliahan maupun di forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain. Untuk mendukung riset-riset di perguruan tinggi Ditjen Dikti menciptakan berbagai program, baik berupa program pebiayaan riset secara kompetitif, berbagai pelatihan, maupun berbagai penyediaan fasilitas riset. Hibah-hibah penelitian ditawarkan kepada seluruh dosen, baik dosen PTN maupun dosen PTS. Dengan model semacam ini para dosen dipacu untuk berlomba-lomba melakukan penelitian baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan sesuai bidang masing-masing. Fasilitas laboratorium didirikan di seluruh universitas. Salah satu fasilitas penelitian yang diharapkan digunakan bersama sekaligus menjadi pusat penelitian (research center) adalah pendirian Pusat Antar Universitas (PAU) yang didirikan di beberapa perguruan tinggi, antara lain di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin pada akhir tahun 1980-an. Berbagai aktifitas penelitian bersama antar perguruan tinggi dipusatkan di PAU.

Untuk lebih meningkatkan kemampuan meneliti maka dilakukan kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga riset di dalam negeri dan di luar negeri. Di dalam negeri kerjasama riset dilakukan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementrian Riset dan Teknologi beserta lembaga yang ada di bawahnya, serta pusat-pusat penelitian yang berada di bawah kementrian lain. Kerja sama dengan universitas luar negeri dilakukan dalam kerangka penelitian bersama. Berbagai kebijakan untuk mendorong perguruan tinggi sebagai pusat riset telah menghasilkan beberapa capaian. Salah satu prestasi yang membanggakan bangsa indonesia misalnya kontes-kontes robot tingkat dunia yang selalu dimenangkan oleh mahasiswa Indonesia. Pengakuan internasional terhadap kualitas riset ilmu sosial diwujudkan dengan pelatihan riset ilmu sosial yang pernah dilakukan di Aceh dan di Makassar yang didukung oleh lembaga internasional. Tidak sedikit hasil riset dari berbagai perguruan tinggi yang berhasil dipatenkan dan diakui secara internasional.

Salah satu kendala yang dialami oleh perguruan tinggi pada masa Orde Baru ada sistem operasional yang sangat birokratis. Seluruh organ perguruan tinggi dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat dengan sangat sentralistik. Akibatnya gerak perguruan tinggi kurang luwes. Padahal untuk menuju perguruan tinggi yang bermutu dan setara dengan perguruan tinggi lain pada tingkat internasional diperlukan kecekatan dari perguruan tinggi yang bersangkutan untuk mengambil kebijakan. Dengan sistem yang sentralistik dan birokratik maka gerak langkah perguruan tinggi menjadi lamban. Seluruh dana yang dikumpulkan oleh perguruan tinggi dari masyarakat melalui formula SPP harus disetor terlebih dahulu ke kas negara. Jika perguruan tinggi yang bersangkutan membutuhkan dana mereka harus menunggu penjatahan (dropping) terlebih dahulu dari pemerintah. Padahal kebutuhan pendanaan di perguruan tinggi bersifat fleksibel dan tidak tahu waktu. Jika kebutuhan yang mendesak harus menunggu terlebih dahulu keputusan dari pemerintah maka banyak kesempatan yang mestinya bisa diraih oleh perguruan tinggi menjadi hilang. Pada awal era reformasi hal tersebut menjadi salah satu topik perbincangan yang dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan praktisi pendidikan dan pimpinan perguruan tinggi.

Kesimpulan dari diskusi yang membahas mengenai perguruan tinggi salah satunya adalah bahwa perguruan tinggi mestinya diberi kebebasan untuk mengelola anggaran tanpa menggantungkan diri kepada pemerintah. Untuk menopang operasional perguruan tinggi hendaknya lembaga ini diberi kekebasan untuk mengelola anggaran. Perbincangan dan tuntutan semakin mengemuka manakala gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa bergulir. Ketika gerakan reformasi berhasil menggulingkan pemerintah Orde Baru salah satu tuntutan yang mengemuka pada pendidikan tinggi adalah merealisasikan gagasan mengenai otonomi perguruan tinggi. Dari sinilah lahir kebijakan menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Inti dari kebijakan ini adalah perguruan tinggi diberi kebebasan untuk mengelola anggaran yang dibutuhkan tanpa campur tangan pemerintah. Mereka juga diberi hak untuk mencari dana dari sumber-sumber lain yang syah untuk digunakan sebagai biaya operasional. Tujuan lain pemberian otonomi perguruan tinggi adalah agar perguruan tinggi memiliki keluwesan dalam mengembangkan institusinya. Salah satu aspek penting dari pengembangan perguruan tinggi adalah agar lembaga ini bisa sejajar dengan lembaga sejenis di luar negeri. Dengan kata lain perguruan tinggi di Indonesia hendaknya mampu menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.

Merealisasikan gagasan otonomi perguruan tinggi dalam bingkai BHMN bukanlah hal yang mudah. Perguruan tinggi di Indonesia meruapakan perguruan tinggi yang selama ini murni dibiayai dan dibina oleh pemerintah. Oleh karena itu pemberian status BHMN kepada perguruan tinggi tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba dan tergesa-gesa. Pada tahun 2000 mulai diujicobakan status BHMN kepada lima perguruan tinggi negeri di Indonesia, masing-masing adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Lima perguruan tinggi tersebut dianggap yang paling siap untuk ditetapkan sebagai perguruan tinggi BHMN dengan status otonom. Tujuh tahun kemudian tepatnyaawa tahun 2007 dua perguruan tinggi lain menyusul diberi status perguruan tinggi BHMN yaitu Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi terbukti mampu menggenjot kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Dari berbagai riset yang dilakukan oleh lembaga internasional beberapa perguruan tinggi masuk ke peringkat dunia. Hal tersebut membuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi di luar negeri. Untuk terus meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia Ditjen Dikti terus-menerus mendorongnya dengan perbagai program yang diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi. Program-program tersebut diharapkan dapat menjadikan perguruan tinggi di Indonesia masuk menjadi world class university.

Salah satu program unggulan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti adalah meningkatkan taraf pendidikan dosen sampai jenjang doktor. Pada periode mendatang dosen di seluruh perguruan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan doktor (S3). Untuk memenuhi kebijakan itu maka Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti mengirim ribuan dosen ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan master dan doktor. Dengan program tersebut maka diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.


[1] H.F. Tillema, Kromoblanda: Over’t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote Land, 6 Jilid, (’s-Gravenhage: Uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923)

[2] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), Peringatan 70 Tahun Pendidikan Dokter di Surabaya, (Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1983), hlm. 20

[3] D.M.G. Koch, Menudju Kemerdekaan, (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1951), hlm. 42-43

[4] Sebagai contoh misalnya, pada tingkat pendidikan dasar anak-anak bumiputera kebanyakan hanya bisa sekolah di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse), anak-anak dari pemuka-pemuka, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang terhomat bumiputera dapat sekolah di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Eerste Klasse). Pada perkembangan selanjutnya pemerintah kolonial mendirikan sekolah untuk anak-anak tokoh bumiputera de perkotaan yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sedangkan anak-anak Eropa bersekolah di Europeesch Lagere School (ELS). Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 94

[5] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), op.cit., hlm. 20

[6] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 324

[7] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), op.cit., hlm. 22

[8] Ricklefs, op.cit., hlm. 324

[9] Anonim, Universiteit van Indonesie, Gids voor het Academiejaar 1949-1950, (Batavia: Landsdrukkerij, 1950), hlm. 6

[10] Perguruan tinggi ini menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada yang sebenarnya, yang secara resmi berdiri tahun 1949

[11] Anonim, Universiteit van Indonesie, Gids voor het Academiejaar 1949-1950, (Batavia: Landsdrukkerij, 1950), hlm. 78 dan 83.
Baca selengkapnya »

0

3 Macam Sifat Mahasiswa Karimun

|

Saya bedakan mahasiswa dalam tiga tipologi, yaitu: Mahasiswa Aktifis, Hedonis, dan Akademisi. Berangkat dari aneka latar belakang sosial, kemandirian ekonomi, pendidikan dan kekayaan intelektual, dan ragam budaya yang berbeda-beda, secara alamiah akan membentuk watak dan kepribadian para mahasiswa baru. Namun, setelah menjajakan kaki diranah kampus yang dikenal dengan tradisi pendidikan yang kuat, idiologi yang mengakar, serta kritis, setidaknya sedikit menghentak kesiapan mahasiswa baru dilingkungan anyar mereka ini. Kebiasaan mereka di rumah, akan terkikis perlahan-lahan sebab mereka telah menemukan ruang baru dengan berbagai dinamika ke aku-an.

Ibarat peta, ragam dinamika kampus akan menuntun dan menawarkan pilihan bagi mahasiswa, mencari apa dan hendak kemana adalah mutlak bagi mereka. Dari tiga tipologi mahasiswa itu, mahasiswa akan bermetamorfosa sesuai dengan yang diinginkan, tumbuh berkembang menjadi aku-nya. Tak ayal, pilihan menjadi aktifis, hedonis, dan akademisi adalah warna tersendiri. Lalu, bagaimana gambaran dari tiga tipologi mahasiswa tersebut:

Mahasiswa Aktifis:
“Tidak aktif tidak asyik,” naluri mahasiswa adalah kritis terhadap lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi disekitar mereka, peka terhadap gejala-gejala yang timbul di lingkungan masyarakat dan negara. Tak dimungkiri, mahasiswa dengan tipologi ini rela bermandikan keringat hanya untuk berdemonstrasi menolak kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat, melayangkan berbagai tulisan dan kritik lainnya, melakukan bakti sosial di masyarakat dan bejubel kegiatan lainnya. Sekilas, ini tipe ideal. Tapi mahasiswa aktifis, harus pintar membagi waktu dan mengatur jadwal kegiatannya supaya tak bergeser dari pesan Mama “Nak kuliah yang benar, cepat selesai dan baktilah pada masyarakat” alias aktif bisa, belajar harus.

Dari corak pemikiran mahasiswa aktifis, memang cenderung berapi-api, orasi berkoar-koar dan sangat bergairah. Apalagi jika lingkungan kampus juga sarat politik, maka mahasiswa aktifis berada dijalurnya, mereka tak hanya belajar teori tapi juga merangsek lebih dalam diruang praktik, ruang publik. Tapi, tak ada yang sempurna, realita yang saya saksiskan di lingkungan kampus sendiri, banyak mahasiswa aktifis yang senang berlama-lama kuliah, mengejar impian politik dan jabatan lainnya yang dianggap prestisius.

Fenomena lainnya, mahasiswa aktifis juga tak bersih dimata mahasiswa dan lingkungan sosialnya. terkadang, idiologi mereka juga sudah ditumpangi kepentingan elite politik dan kepentingan pribadi. Tak jarang, setelah mendapat posisi di kampus, tak ada aplikasi riil kegiatan yang mengakomodir kepentingan mahasiswa di kampus. Entahlah, dibalik lantangnya orasi dan semangat mengkritisi, ternyata masih banyak kesan negatif lainnya yang melekat pada sosok mahasiswa aktifis ini.

Mahasiswa Hedonis:
Salah satu tipe paling unik adalah tipe mahasiswa hedonis. Jangan salah kaprah, mahasiswa hedonis tak semuanya borju, yang pas-pasan kekuatan ekonominya pun ada yang buruk dalam golongan ini. “Orang Kaya sombong, wajar. Lah kalau orang miskin?” begitulah kira-kira banyak orang mengomentari mahasiswa tipologi ini. Selain itu, istilah lain dalam tren tipe hedonis adalah kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), kunang-kunang (kuliah nagkring-kuliah nangkring), juga tak sedikit dari mereka yang menjadi shopaholic, hampir setiap tempat sudah di jambangi, untuk beli ini beli itu. Mulai dari Indo PN, Hawaii, pasar malam dan lain-lain

Memang tipe hedonis terlanjur dianggap jauh dari tradisi kampus, tapi inilah realitanya. Kebanyakan mahasiswa hedonis, kuliah hanya sekedar singgahan, tak peduli berapa banyak matakuliah yang mereka tinggalkan demi nongkrong bersama teman. Namun sekilas pengamatan saya, rata-rata mahasiswa hedonis berkeperibadian terbuka dan ekstrofet. Mereka cukup kreatif dalam hal tertentu, hobi otomotif, stylish, dan melek teknologi. Tak heran, selain dapat sokongan dana dari orang tua, mereka juga pandai mendulang uang.

Yaa, selalu ada kelebihan dibalik kekurangan. Secara prestasi akademik, tipe satu ini jauh dibawah mahasiswa aktifis dan akademisi tapi tingkat kreatifitas mereka boleh diadu, mungkin bisa satu level diatas kedua tipe lainnya.

Mahasiswa Akademisi:
Tak perlu membayangkan tipe mahasiswa satu ini. Tenang saja, tak semua kutubukuberkacamata dan culun. Di zaman serba maju ini, mahasiswa akademisi juga pandai memoles citra, mulai dari cara berbicara yang elegan, ilmiah dan cerdik, mereka juga cukup rapi. yaa seperti ungkapan “anda takkan bisa membuat kesan pertama untuk kedua kalinya,” jadi, kaum akademisi cenderung hati-hati dalam menciptakan tradisi, kesan terpelajar sudah tentu menjadi backgound mereka.

Mahasiswa akademisi lebih sering ke perpustakaan dari pada ke pasar swalayan, sering menggonta-ganti buku daripada ganti handphone, dll. Soal akademik, itu wilayah mereka, membaca buku dan mengelaborasi berbagai ilmu untuk suatu penemuan sudah menjadi ruh. Bergabung dalam kelompok diskusi ilmiah adalah wadah kegiatan mereka dimana pelbagai persoalan akademik akan tumpah-ruah disitu, diulas dengan tepat, dikritik secara tajam, dibincangkan, sampai diperdebatkan pun menjadi fenomena yang lazim.

Selalu ada target dari mata kuliah yang dipelajari pada setiap semester, idealnya mereka ingin mendapat nilai baik. Hitam di atas putih adalah keniscayaan, artinya; gemilang di forum harus dibuktikan dengan nilai ijazah yang baik. Intinya, khazanah kampus kental terasa dilingkungan mahasiswa akademisi.

Dari semua tipologi mahasiswa diatas, tak ada yang 100% sempurna, selalu ada celah untuk menjadi kalah. Mahasiswa aktifis lama dikampus, mahasiswa hedonis disorientasi pendidikan, mahasiswa akademisi cenderung ekslusif. Tapi kiranya, menjadi bagian dari tiga tipologi ini harus dinikmati, ditingkatkan nilai positifnya dari setiap tipe dan posisi. Hendak menjadi apa dikampus adalah hak perogratif anda. Satu pesan saya. Jadilah pemain bola atau jadilah apa kata hatimu.
Baca selengkapnya »

0

KURANGNYA MINAT MAHASISWA BERORGANISASI

|

Fenomena mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk membawa gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak jarang trend ‘study oriented’ mewabah di kalangan mahasiswa.

Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan softskill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin. Untuk mendapatkan keahlian-keahlian tersebut, mahasiswa harus mempunyai minat terhadap organisasi serta aktif di dalamnya. Organisasi merupakan sebuah wadah bagi sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama. Di dalam organisasi, seseorang dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi, bekerja sama dan mengambil keputusan melalui sebuah pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama.

Namun dari survei dan pengamatan yang dilakukan, ternyata masih banyak mahasiswa yang kurang menyadari pentingnya organisasi dan softskill untuk diri mereka, serta masih banyak juga yang bepikir bahwa organisasi dapat memperlama masa kuliah mereka dan mengganggu kuliah mereka, sehingga belakangan ini minat dan kesadaran akan pentingnya berorganisasi khususnya dikalangan pelajar/mahasiswa/pemuda hindu di kota Palu sangat randah

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kuranya minat mahasiswa berorganisas diantaranya, yaitu :
Pertama, faktor kualitas aktifis dalam sebuah organisasi. dimana Aktifis sekarang cenderung tidak memiliki intelektualitas yang bagus. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kajian antar sesama aktifis. Mereka hanya cenderung membicarakan persoalan-persoalan yang tidak penting. Selain itu, aktifis organisasi tidak mau untuk belajar mandiri serta sering mengulur-ulur waktu untuk melakukan kajian keilmuan.

Kedua, faktor organisasi mencatat presentase sebesar 19,5%. Organisasi saat ini tidak memiliki SDM yang baik, sehingga kepengurusan di organisasi tidak berfungsi. Akibatnya, organisasi mengalami stagnan. Tidak ada perkembangan dalam menjalankan roda organisasinya. Buruknya manajemen dalam organisasi juga menjadi pertimbangan mahasiswa untuk tidak mau ikut bergabung. Selain itu banyak program-program organisasi yang tidak jelas arah tujuannya. Sehingga banyak mahasiswa yang belum mengerti pentingnya mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi. Hal ini bisa diakibatkan oleh minimnya komunikasi dan penyampaian informasi yang dilakukan oleh organisasi terhadap mahasiswa.

Ketiga, faktor ideologi. Mahasiswa menilai bahwa organisasi ideologi kampus cenderung hanya menonjolkan kepentingannya sendiri tanpa melihat organisasi yang ideologinya berbeda, sehingga kader organisasi tidak bisa serius dalam belajar. Mereka hanya disibukkan dengan konflik antar ideologi yang pada dasarnya memang tidak bisa disatukan, karena ideologi sifatnya subjektif, tidak bersifat objektif.

Keempat, Hal ini merupakan penilaian mahasiswa terhadap organisasi tanpa melihat aktifis, organisasi, serta ideologinya. Mereka melihat dari kaca mata diri mereka sendiri. Keterbatasan pengetahuan terhadap organisasi serta persoalan-persoalan yang ada dalam internal mahasiswa, seperti, malas berorganisasi dan ketidak pahamanan terhadap organisasi membuat mereka tidak tertarik terhadap organisasi.
Baca selengkapnya »

0

Pentingkan Pendidikan Dengan Memperhatikan PTS Diperbatasan

|


Pendidikan di daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Upaya ini sebagai komitmen untuk membuat wilayah perbatasan menjadi beranda terdepan bangsa. Kabupaten Karimun contohnya, segaimana kita lihat geografisnya yang berdekatan dengan negara tetangga adalah suatu keuntungan dari berbagai aspek. Namun juga bisa merupakan sebuah ancaman bila tidak ditingkatkan kualitas SDM-nya.

Jika di amati lebih telisik, daerah terpencil, penyangga, dan perbatasan memang harus lebih banyak  PTNya ketimbang PTS. Kalau daerah kota besar seperti di Jakarta, Bandung, dan yang lebih dekatnya seperti Batam memiliki berbagai PTS itu bukanlah suatu masalah. Sebab sebuah PTS untuk menjadi PTN itu syaratnya tidak mudah, yayasan harus melepaskan asetnya.

Yayasan sudah tidak memiliki kewenangan lagi. serta tidak memiliki perananan apa pun karena telah di ambil alih oleh pemerintah. Mungkin hal inilah yang menjadi dasar enggannya yayasan untuk melepas asetnya.

Padahal tujuan dari mengubah PTS menjadi PTN di kawasan perbatasan adalah sangat baik. Banyak sekali manfaat yang di dapat. Ke depannya SDM indonesia khususnya di daerah tersebut akan dapat bersaing dengan negara seberang. Malah-malah bisa mandiri dengan kemudahan yang ada seperti mengembangkan perekonomian antar negara tetangga, pariwisata, dan budaya.

Tetapi hal yang paling mendasar dirubahnya menjadi PTN adalah demi meningkatkan dan memeratakan akses di seluruh tanah air. Sehingga pelayanannya yang diprioritaskan kepada masyarakat kaum ke bawah dapat terjangkau dengan mengandalkan biaya hidup mereka yang pas-pasan. Segala urusan yang menyangkut keuangan menjadi lebih murah karena dijamin oleh negara, dan mahasiswa menjadi semakin baik ketika mengikuti proses perkuliahan.
Baca selengkapnya »

Jumat, 28 Oktober 2016

0

Memperingati Hari Sumpah Pemuda.

|

Jum'at ini kita pemuda indonesia mengenal sumpah pemuda dengan adanya semangat pemuda. Maka darah inipun bergetar ketika harinya telah tiba. Sejaralah yang membentuk semangat ini, pada hari dan bulan yang sama di tahun 1928, saat itu bara mulai memercik dan bermuara hingga kini dimana semangat kitapun berapi-api.

Lalu semangat kita untuk siapa? Dan dimana letak semangat anda jika belum tercapai?
Apakah hilang begitu saja?
Atau anda perlu menulisnya agar dikatakan pernah muda?
Atau anda tuangkan ke dalam nada, nada dalam pergelutan kepemudaan
Lihat fakta sejarah, kemerdekaan adalah cita-cita terbesar bagi pemuda. Imbasnya mereka di agungkan oleh bangsa.

Namun, semangat itu memudar. Mereka tengah dirusakkan dengan berbagai cara dan aturan. Jiwanya perlahan di hadapkan dengan setan. Butir-butir pancasila ingin dilenyapkan. Singkatnya negara dalam keadaan genting.

Untuk itu pemuda yang berintelektual, katakanlah kita bangga bagian dari mahasiswa. Seharusnya kita sadar dengan keterpurukan mayoritas kita di abad ini, sadar dengan pemuda desa yang belum sadar. Sadar dengan pemimpin kita yang belum tersadarkan. Sadar perang pemikiran di kota sedang terselubung.

Kita! Siswa yang tinggi derajatnya, mulia di mata Tuhan karena ilmunya, hebat pemikirannya, luas nalarnya, pedas opininya. Segeralah bawa angin perubahan di negeri ini, tidak terwujud tapi membekas. Jangan takut, estafet kita lakukan yang dibelakang siap menggantikan untuk peradaban. Jika tidak! Negeri sejuta peristiwa berdarah ini, akan punah bila diindahkan

Rudi Saputra | Isu SARA berbungkus kepentingan politik
Baca selengkapnya »

Kamis, 27 Oktober 2016

0

Perjuangan Tiada Akhir

|
 Perjuangan bukan hanya persoalan berkorban jiwa dan raga untuk impian visi yang hendak dicapai. Jauh lebih luas lagi, perjuangan adalah soal rasa yang membuang ambisi, soal kepekaan yang menghilangkan ego dan apatisme, juga soal kemauan untuk terus hidup meski dirundung derita tiada akhir.
Kita harus yakin Tuhan pasti menjaga hamba-hambanya yang memiliki kemauan keras untuk selalu berjuang.

Salam pegelarakan
Humas pmii kab. Karimun (Aal Aulia)
Baca selengkapnya »

Selasa, 25 Oktober 2016

0

Peradaban Dimulai Dari Sebuah Karya Tulis -Buku

|

Akhir zaman di tandai salah satunya dengan diangkatnya ilmu. Maksud ilmu disini bisa saja para wali Allah seperti ulama, kiyai, tokoh, pemimpin adil dan sebaginya yang akan di angkat ke langit. Secara tidak langsung ilmunya juga terangkat. Lalu ilmu pengetahuan hadir sebagai pencerah kehidupan manusia dalam mewujudukan peradaban yang lebih baik, jika ilmu tidak ada maka kehidupan di dunia akan vakum dengan subjeknya yang tidak dapat mengembangkan apa yang ada di bumi.

Ilmu pengetahuan di dapat dengan berbagai cara salah satunya dengan 5 indera yang ada pada manusia. Ketika ilmu yang di dapat, pada prosesnya terdapat sesuatu kekuatan begitu luar biasa yang dapat menyimpan ilmu tersebut. Sehinggalah ilmu-ilmu terdahulu masih tetap ada dan dapat dipelajari hingga sekarang, yakni kekuatan ingatan. Ingatan semua orang relatif, pada zaman Rasulullah ingatan seseorang mayoritas lebih baik dan kuat ketimbang sekarang yang menjadi minoritas. 

Untuk itulah buku hadir sebagai pengimbang dalam kehidupan masa depan. Buku bukan saja karya tulis yang sekedar untuk di baca, tetapi juga memiliki peran yang sangat vital bahkan salah satu penyebab pengatur sebuah sistem dalam setiap waktu. Buku hadir mengajarkan manusia baca dan tulis, dengan kebiasaan itu semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang panjang terlampaui, lama menjadi dekat dan semua berawal dari ilmu pengetahuan yang di aplikasikan ke dalam karya tulis (buku). Begitulah sifat ilmu, selalu menghasilkan sesuatu ketika dikembangkan.

Sekedar ingatan kita tidak mampu, kecuali mendapat kekuatan IQ khusus atas izin Allah seperti Abu Hurairah. Namun bagaimana jika ia telah tiada? Lalu baca tulis tidak dilakukannya? Maka yang terjadi adalah bom waktu yang siap menghancurkan generasinya.

Maka kembali lagi pada sejarah terbaik di dunia, yakni di zaman Rasulullah, sahabat, tabi'in dan seterusnya. Sebuah buku -bukan saja Al-Qur'an, buku lainnya juga- di kumpulkan menjadi satu dan puncak kesadaran tersebut terjadi dikala ketakutan orang-orang akan di angkatnya para wali Allah serta orang-orang alim yang berilmu. Tujuan kesadarannya juga agar ilmu tidak di angkat ke langit dan bisa diteruskan kepada generai berikutnya.

Begitu pentingnya buku di mata sejarah manusia, sehingga layak kita muliakan buku-buku ini. Bahkan karena bukulah internet hadir dan karena buku kita bisa membaca dan menulis di era serba digital sekarang. 

Baca selengkapnya »

Senin, 24 Oktober 2016

0

Opini ; Maraknya Pungli

|
Di masa-masa reformasi ini perubahan menjadi kata yang sering kita dengar dimana tuntutan perubahan sering disuarakan baik oleh individu, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa maupun oleh elemen masyarakat lainnya. Tuntutan perubahan sangat sering diarahkan kepada aparatur pemerintah menyangkut pelayanannya kepada masyarakat itu sendiri. Rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur menjadi citra buruk pemerintah di tengah-tengah masyarakat. Memang inilah yang menjadi perhatian masyarakat saat ini.

Dunia birokrasi dinilai terlalu ironis sebab pelayanan terhadap masyarakat saat ini sangat kurang memuaskan. Masyarakat sering disepelekan dengan berbagai macam alasan. lantas siapakah yang menjadi pelayan masyarakat saat ini. Karena berbagai sumber masyarakat mengatakan bahwa pelayanan saat ini jauh dari kata memuaskan dan cenderung mengulur-ulur waktu. Terkadang ketika masyarakat ekonomi lemah dengan susah payah meninggalkan pekerjaan hariannya hanya ingin mengurus Surat menyurat, selalu saja ada alasan dari staf kantor bahwa pejabat terkait sedang keluar hingga urusan kembali terbengkalai.

Maka dengan otomatis masyarakat harus meninggalkan pekerjaan keesokan harinya untuk mengurus surat-menyurat yang mereka butuhkan. Maka dalam hal ini pastinya masyarakat akan kembali disulitkan. Inilah sebuah realitas yang saat ini masyarakat rasakan. Keangkuhan terkadang masih menyelimuti kinerja staf-staf instansi ketika melayani masyarakat. Apalagi masyarakat yang sedang membutuhkan pelayanan itu memiliki latar belakang orang yang tergolong dalam ekonomi lemah, pendidikan rendah.sudah pasti terlihat pola diskriminatifnya.

Praktek pungli masih saja marak terdengar meskipun pemerintah telah mengisntruksikan akan memberikan sanksi kepada pegawai yang melakukan praktek pungli. Maka dalam hal ini hendaknya jangan menutup mata serta perlu sekiranya ada penekanan dari kepala daerah terhadap bawahannya agar pelayanan yang diberikan untuk masyarakat semakin baik. Terutama dalam efisiensi kerja, ketepatan waktu dan perilaku pegawai terhadap masyarakat itu sendiri. Karena pemerintahan itu bertugas untuk melayani masyarakat.

Parizal
Ketum PC PMII Kabupaten Karimun

Baca selengkapnya »

0

Bukan Sekedar Menghibur Saja, Film Naruto Juga Menyelipkan Sisi Pengajaran

|

Film animasi dari jepang banyak mengeluarkan karya yang luar biasa yang sampai sekarang belum bisa tertandingi oleh negara mana pun. Kecuali Amerika yang mengandalkan Captain Amerika, Superman, Batman, Tom and Jerry dan lainnya. Kualitasnya tidak diragukan lagi, makna cerita dan genre yang di usung tepat dengan selera anak muda bahkan orang dewasa juga tidak ketinggalan. Dari belakang bisa kita ingat dengan One Piece, Samurai X, Avatar, Detektif Conan, Tsubasa, Pokemon, Doraemon, Sinchan. Tayangan ini menghibur dengan mengangkat tema yang berbeda, dan uniknya film ini bukan sekedar kartun biasa. Ia memiliki pesan tersurat dalam dialog dan tersirat ketika di akhir cerita.

Dari semua film animasi jepang yang ingin saya bahas adalah Naruto, dengan bertemakan Ninja kita dibawa ke dalam suatu kerajaan yang terbagi-bagi di dunia shinobi (Ninja). Ia juga memiliki latar belakang sejarah layaknya manusia, yakni peperangan antar negara, clan (suku/ras), politik kekuasaan, kepentingan pribadi dengan misi intelejennya, pendidikan linear (berguru turun temurun), bahkan hal tahayul sekalipun. Kemudian di masa depan, mereka semua para ninja menginginkan sebuah peradaban yang lebih baik dari yang sekarang. Tidak ada lagi pertikaian antar ninja, para ninja baru harus lulus dengan pendidikannya, setiap negara harus memiliki hokage/pemimpin yang kuat dan cerdas.

Itulah pesan tersirat dari film Naruto yang selama ini menjadi film favorit saya sampai sekarang. Namun yang paling menarik dari cerita ninja jepang teraebut adalah pesan tersuratnya. Dimana kita dapat mengambil pelajaran berharga hanya dengan menghayati apa yang tokoh-tokoh film animasi tersebut rasakan dengan tindakan/ucapannya.

Dari Uciha Itachi, kakak kandungnya Uciha Sasuke ini rela berkorban demi negaranya agar tidak ada pertumbuhan darah ia tega membunuh semua sukunya -ras/clan dalam dunia shinobi- termasuk orang tuanya sendiri dan menyisakan adiknya Sasuke. Sepanjang hidupnya setelah peristiwa berdarah itu seluruh penduduk desa Konoha mengecapnya seorang pengkhianat, tapi tidak bagi shinobi yang intelektual karena mereka bukanlah ninja awan yang tidak tahu sejarahnya Uciha. Jika tidak dilakukannya maka suku Uciha akan berperang melawan negara Konoha tempat film ini berjalan. Sungguh pengorbanan yang patut kita tiru dalam hal berbangsa dan bernegara di zaman ini.

Lalu ada lagi pada ketabahan Rock Lee yang berjuang pada rasa sakitnya, kemudian jiwa patriotisme yang bagus untuk di contohi dari Uzumaki Yondaime (Ayah Naruto) ketika berhadapan dengan rubah berekor 9 demi menyelamatkan desa Konoha dari amukan siluman tersebut. Lalu yang terakhir Naruto. Anak yang dilahirkan yatim piatu - semasa bayi- ini bisa bangkit dari keterpurukannya hanya dengan mengandalkan semangat untuk menjadi hokage (presiden) di masa depan. Walau rintangan sudah hampir membuatnya rebah untuk selamanya, semangat tersebut tidak pernah pudar. Semangat ini telah bercampur dengan keyakinan yang tinggi sehingga ia tidak pernah mengerti apa itu menyerah. Ada kata yang menarik dan patut di kutip dari Naruto ke pada rekannya Neiji. "Takdir yang kau bahwa akan bisa dirubah dengan upaya yang engkau lakukan hari ini" kurang lebih seperti itu makna dari percakapan mereka.

Patutnya kita melihat tidak dari sisi menghiburnya saja, tapi ada kalanya juga kita harus ambil pelajaran dari setiap episode tersebut.

Baca selengkapnya »

Jumat, 14 Oktober 2016

0

Arti Kehidupan Dari Sosok Merpati

|

Terkadang manusia tidak sadar dengan tugas dan kewajibannya baik itu kepada penciptanya maupun kepada sesama manusia. Maka dari itu, agar kehidupan kita berguna bagi orang banyak maka sudah sepatutnya kita belajar dari burung merpati. Kenapa? karena burung ini patut kita jadikan sebagai contoh untuk beberapa aspek kehidupan yang biasa kita lewati sehari harinya.

Dalam segi percintaan, burung yang satu ini tidak pernah untuk berganti ganti pasangan. Karena burung ini hanya memiliki 1 kekasih sepanjang umurnya. Banyak dikalangan anak muda burung merpati sebagai simbol kesetiaan. Kemudian, Burung merpati adalah hewan yang tahu kemana mereka harus pulang. Seberapapun jauh burung ini terbang mengudara pasti dia tahu dimana posisi rumahnya dan tempat dimana mereka menghabiskan sebagian hidupnya, karena burung merpati tidak ada yang pulang ke rumah orang lain. 

Burung merpati adalah burung yang sangat romantis. Itu pengertian bagi sebagian orang yang mengamati burung secara ekslusif. Dimana ketika burung jantan memberikan sebuah pujian pasti burung betinanya tertunduk malu, maka tak ada burung merpati yang saling mencaci maki. Dan rasa kebenciannya konon tidak pernah ada karena hewan ini tidak memiliki empedu.

Burung merpati tahu bagaimana pentingnya kerjasama. ketika mereka bekerja sama membuat sarang. Sang jantan dan betina saling silih berganti membawa ranting untuk sarang anak-anak mereka. Apabila sang betina mengerami, sang jantan berjaga di luar kandang. Dan apabila sang betina kelelahan, sang jantan gantian mengerami. Mereka tak pernah sama sekali untuk melemparkan tugas yang sudah menjadi kewajiban mereka.

Jika, burung merpati saja bisa melakukan beberapa kemuliaan itu, kenapa manusia yang telah diberikan organ tubuh yang begitu sempurna oleh Tuhan tak mampu melakukan seperti apa yang di lakukan oleh burung merpati itu? Sudah seyogyanya kalian bahkan sayapun meniru apa yang telah menjadi kebiasaan dari burung merpati ini agar kehidupan kita semua lebih baik ke depannya.
Baca selengkapnya »

0

Demi Meningkatkan Perekonomian Karimun Pelabuhan Petikemas Malorko Harus Segera Tereliasasi

|

Pelabuhan yang ada di Kabupaten Karimun saat ini belum ada yang memadai dalam urusan logistik dan kapasitanya pun masih sangat terbatas. Contohnya pelabuhan bongkar muat yang berada di Balai sudah tidak memungkinkan lagi untuk beroperasi, megingat sempitnya area seperti lahan parkiran, jalan lalu lintas serta dermaganya. Kemudian disana juga terdapat pelabuhan domestik dan internasional yang tentunya dalam pelaksaannya akan terbentur dengan satu sama lain.

Permasalahan ini seperti dilema tersendiri bagi Pemkab Karimun, namun bagaimanapun permasalahan ini harus dicari jalan keluar yang cerdas dan jernih yakni keuntungan bagi semua elemen baik dari pengusaha, pemerintah dan rakyat sebagai pekerja disitu.

Harapan masyarakat Karimun lainnya, agar tidak hanya menjadi penonton sebagaimana yang kita lihat di perairan Costal Area selalu dilaluinya kapal-kapal ukuran besar. Pelabuhan petikemas Malorko yang telah menelan APBN hingga Rp. 300 Milliar tersebut. Harus segera diselesaikan, demi kestabilan perekonomian daerah Kabupaten Karimun yang setiap harinya kian kompetetif dalam dunia perdagangan nasional dan internasional.

Jika fasilitas memadai maka arus barang pun akan semakin lancar dan akan bertambahnya para pengusaha di bidang usaha pelayaran. Sehingga kebutuhan masyarakat akan terpenuhi tanpa adanya pasokan yang menipis. Imbasnya adalah akan menekan inflasi. Harga barang akan stabil dan tidak akan naik yang disebabkan biaya ongkos angkut. Untuk itu fasilitas seperti bongkar muat dan petikemas harus ada dan tidak boleh ditawar lagi bagi Pemkab Karimun terhadap Kementerian Perhubungan.
Baca selengkapnya »

Rabu, 12 Oktober 2016

0

Strukturisasi Skripsi, Tesis, atau Disertasi Dalam Satu Diagram

|
Menulis skripsi, tesis, atau disertasi bukan hanya sekedar menyusun kalimat untuk membangun konten dari bagian-bagian naskah ilmiah tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah menjamin keruntutan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Kelancaran “aliran” ide dan penjelasan inilah yang membuat naskah skripsi, tesis, dan disertasi menjadi enak dibaca. Di atas adalah struktur strukturisasi skripsi, tesis, atau disertasi — dalam satu diagram yang dihimpun dari www.ug.ac.id
Baca selengkapnya »

Cerita Sore ; Mobil Kecil Bapak Tua Mogok di Tengah Jalan Batu Lipai

|

Foto di atas tidaklah seperti cerita yang ingin aku sampaian sore ini. Bentuk mobil kecil bapak tua yang ingin aku ceritakan sangat jauh seperti foto diatas, sengaja tidak aku foto kejadian tadi. Rasa malu bukan menyelemimutiku tetapi rasa iba yang mendorong aku untuk memutuskan foto di atas sebagai kebalikannya atas apa yang aku lihat barusan.

Hari ini sengaja aku pulang melalui jalan bawah yakni melewati depan salemba, tidak seperti biasanya aku melewati jalan ini. Karena jalan yang sering kulalui adalah melewati jalan poros menuju arah batu lipai.

Saat di pertigaan lampu merah simpang tiga SMA 2 Karimun, ku melaju dengan gigi dua lalu transaksi ke berikutnya. Tiba di gang pertama rumahku, kejadian yang tidak disangka terjadi tepat disebelahku. Saat aku berpapasan dengan seorang pengendara mobil tua di jalan jalan Batu Lipai. Spontanitas aku menoleh, ternyata mobil kecil bapak tua, yang selama ini menjadi buah bibir masyarakat Karimun atas kepiawaiannya dalam mengelola mobil kecilnya menjadi mobil seperti pada umunya. Namun kali ini warnanya tidak merah seperti yang sering kita lihat di jalanan atau di SPBU Poros. Warnanya berganti menjadi warna besi tua yang berkarat.

Kembali pada cerita, pada saat kami berpapasan pada pukul jam 15.45 aku mendengar sebuah besi tua jatuh ke tanah sehingga suara nyaring tersebutlah membuat aku terkejut dan menoleh, bukan aku saja masyarakat di pinggiran jalan pun tersentak melihat apa yang sedang terjadi. Di amati dengan seksama ternyata besi tersebut adalah salah satu bagian mesin mobil tua bapak tadi yang jatuh.

Lama aku berhenti di depang gang minimarket My Mart, hanya untuk melihat apa yang akan dilakukan bapak tua itu. Saat ia keluar, aku merasakan rasa simpati yang sungguh teramat dalam. Dengan kondisi anggota tubuh yang jauh dari kata sempurna tak membuat ia malu untuk memperbaiki mobil tuanya. Hati ku semakin miris saatnya ia menyebrang sendirian hanya dengan kaki yang tidak sempurna tersebut. Tampaknya ia menuju ke bengkel yang tak jauh dari lokasi kejadian.

Akhirnya, aku merasa lega setelah beberapa warga datang ingin membantunya. Dan aku pun pulang ketika hasrat untuk membagikan cerita ini di dalam blogku terwujud.

Kemudian untuk menutup akhir cerita ini, ada kalanya kita merenung sejenak hikmah dari cerita di atas. Bahwa seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.



Baca selengkapnya »

Selasa, 11 Oktober 2016

0

Sukses Karena Kuliah Banyak Tetapi Yang Tidak Sedikit

|

Pendidikan adalah salau satu indikator dalam menciptakan sumber manusia yang berkualitas, serta berdaya saing dan pribadi yang unggul. Sistem pendidikan yang buruk akan berubah menjadi bom waktu bagi sekolah, kampus, daerah hingga bangsanya jika tanpa sedikitpun melakukan perubahan dalam tatanannya. 

Realita yang ada pendidikan di indonesia sekarang telah berevolusi dari berbagai aspek. Seperti kurikulumnya, status negeri, kualifikasi tenaga ahli, hingga prestasi di semua level adalah contoh yang telah megalami evolusi. Itulah keberhasilam pemerintahan kita dalam kurun 20 tahun terakhir.

Pendidikan patut disinggung akan eksitensinya pada masyarakat indonesia. Dalam hal tersebut pendidikan menjadi pemeran utama dalam setiap kegiatan di masyarakat. Akan tetapi masyarakat menyikapi pendidikan perguruan tinggi bukanlah salah satu syarat mutlak untuk menjadi sukses. Mereka berpandangan pendidikan perguruan tinggi hanya sebagai penunjang, pendidikan dibawahnya barulah syarat mutlak untuk menjadi orang sukses. Contoh ijazah SMA dan sejenisnya dijadikan syarat bagi orang tua demi mendapatkan pekerjaann anaknya, tetapi melanjutkan ke bangku kuliah hanya sebagai pilihan mereka. Mereka meyakini dan percaya, rentan 12 tahun sudah lebih dari cukup untuk dilepaskan untuk mengarungi hidup.

Lebih parahnya lagi, ungkapan "sukses merupakan tujuan hidup seseorang tanpa dipengaruhi oleh pendidikan, garis tangan kita pada hakekatnya sudah di tentukan jadi tidak perlu sekolah atau kuliah lagi. Lihat saja pengusaha sukses, pendidikannya hanya tamat SD".

Diluar konteks pemasalahan seperti kedaan ekonomi yang menimpa, ketidakmampuan daya serap, permasalahan keluarga serta minimnya hasrat untuk melanjutkan kuliah. Sebenarnya harus digalakkan dengan sebuah dorongan mental demi melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, dan kewajiban tersebut adalah tugasnya pemerintah. Melakukan manuver-manuver yang tepat dimana sasarannya mereka adalah orang yang cenderung berfikir pendidikan perguruan tinggi terebut tidaklah penting.

Tidak mudah untuk menjadi seorang sarjana. Namun menjadi seorang sarjana adalah suatu keharusan di abad ini. Teknologi semakin maju, ilmu terus berubah, pantangan adat menjadi kenangan, bahasa mengalami pelebaran dan semuanya mengalami perubahan. Menjadikan isyarat bahwa lulusan tingkat SMA tidak akan bisa menyesuaikan diri seiring perkembangan dunia semakin membutuhkan skill dari setiap individu. Kebanyakan masyarakat indonesia, tuntutan zaman seperti di atas tanpa sedikit pun tersugesti langsung untuk berubah dari cara berpandangan tersebut.

Adapun pola pikir primitif semacam ini dilihat sudah hilang secara perlahan, akar permasalahannya pemerintah telah temukan titik terang. Namun hanya ada di kota-kota besar dengan pengaruh lingkungan pendidikan yang baik dengan sistem yang terstruktur pada sekitarnya. Untuk di kota berkembang rasanya tidak, malah pola fikir tersebut makin bertambah.

Keterlambatan pola fikir semacam ini kemudian hari akan menjadi pemicu bangsa indonesia lamban dalam hal menciptakan SDM yang berkualitas. Lihat negeri jiran Malaysia, dengan sistem pendidikan yang terintegrasi menjadikan mereka optimis menjadi negara maju pada tahun 2020. Indonesia kapan? Yang saya ketahui targetnya 2025. Jauh sekali? Wajar, mengelola rakyat yang banyak dengan beragam permasalahan begitu sulit ketimbang mengelola rakyat yang sedikit.

Tetapi apakah target tersebut bisa tercapai dengan tingkat kesadaran pendidikan perguruan tinggi yang masih rendah di daerah lingkungan perdesaan? Pesimis dikalangan akademisi mulai mengintai, rakyat kritis mulai mempetanyakan peran parlemen, pemerintah di anggap tidak optimal dalam implementasinya.

Baca selengkapnya »

Support

Copyright © 2011 PC PMII Kabupaten Karimun

Template N2y Shadow By Nano Yulianto