Selasa, 20 Desember 2016

0

"Pesan Arwah" Ini Menurut Sahabat Fayz

|

Boleh jadi dasar pendidikan kita memang sama. Tetapi lingkungannya berbeda, mental kita pun niscaya akan berbeda. Sebab kita sudah bisa lihat hasilnya sekarang. Seorang yang dibesarkan di lingkungan lebih bersahaja, penuh tantangan, lebih keras, tentunya akan punya mental yang lebih kuat, serta lebih fleksibel. Kemudian sebaliknya, mereka yang dibesarkan di lingkungan yang biasa saja, yang minim tantangannya, sedikit pahitnya rasa kehidupan serta segala kemudahan yang di dapatinya. Akan melahirkan mental yang lemah, mudah mewek, milih-milih tingkat dewa dan tidak fleksibel dalam mengarungi hidup ini.
Baca selengkapnya »

Kamis, 08 Desember 2016

0

Arti Lambang PMII

|
Pencipta Lambang: H. Said Budairi

1. Bentuk
Perisai berati Ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
Bintang adalah melambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
5 (Lima), bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah SAW dengan empat sahabat terkemuka (Khulafaur Rasyidin).
4 (Empat), bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhaluan Ahlusunnah Wal-jama’ah.
9 (Sembilan), bintang sebagai jumlah bintang dalam lambang dapat berati ganda, yakni :
Rasulullah dan empat orang sahabat serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
Sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut WALI SONGO.

2. Warna
Biru, sebagaimana lukisan PMII, berati kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
Biru Muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berati ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
Kuning, sebagaimana warna dasar perisai-perisai sebelah bawah, berati identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

3. Penggunaan
Lambang digunakan pada : papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket/pakaian, kartu anggota PMII dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukan identitas organisasi. Ukuran lambang disesuaikan dengan besar wadah penggunaan.
Baca selengkapnya »

0

Tentang PMII

|
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan yang bersandar atas komitmen keislaman dan keindonesiaan. PMII didirikan di Surabaya pada tanggal 21 syawal 1379 H beretepatan dengan 17 April 1960. Kini PMII telah memiliki lebih dari 200 Cabang yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
PMII memusatkasn kegiatannya pada dunia kampus yang berorientasi pada :


  • Pengembangan Intelektualisme;
  • Pemberdayaan CIVIL SOCIETY;
  • Mengembangkan paradigma kritisme terhadap negara.

Sebagai sebuah organisasi islam. PMII berpandangan bahwa nilai-nilai keislaman (religionitas) dan keindonesiaan (nation state) merupakan perwujudan kesadaran seagai insan muslim Indonesia. Sedangkan kerangka keagamaan berdasarkan atas nilai keadilan, kebenaran, toleransi, moderat dan kemanusiaan.
PMII memang dirancang sebagai organ/instrumen perubahan sosial (social change). Secara individual, PMII menawarkan Liberasi dari segala hegemoni dan dominasi ideologi, Ide maupun gagasan.

Secara kelembagaan, PMII adalah barisan intelktual muda yang menawarkan beragam format gerakan mulai dari keislaman, kebudayaan pers, wacana, ekonomi, hingga gerakan massa. PMII cukup mewadahi pluralitas potensi, minat dan kecenderungan otentitas individu. Ingat, masuk menjadi anggota PMII harus dilatarbelakangi dengan sebuah kesadaran sosial dan bukan sekedar untuk membunuh waktu.
Baca selengkapnya »

Rabu, 07 Desember 2016

0

Kisah Nenek Pemetik Daun

|

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.”

Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw?
Baca selengkapnya »

Selasa, 06 Desember 2016

0

Sejarah PMII

|
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

  • Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  • Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  • Pisahnya NU dari Masyumi.
  • Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  • Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ˜P" apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
Baca selengkapnya »

Senin, 05 Desember 2016

0

Makna Filosofis

|
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan  Indonesia. Makna Pergerakan yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. Pergerakan dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

Islam yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama'ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian Indonesia adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
Baca selengkapnya »

Minggu, 04 Desember 2016

0

Visi Misi PMII

|

Visi

Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.

Misi

Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk.
Baca selengkapnya »

Sabtu, 03 Desember 2016

0

Nilai Dasar Pergerakan

|
Antara Dialektika dan Integrasi Gerakan

Kita mungkin masih ingat dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang kira-kira artinya: “Perbedaan di antara umatku adalah Rahmat”, perbedaan yang kiranya difahami sebagai sebuah ragam pemikiran yang akan terjadi nanti setelah beliau wafat. Mungkin kita juga masih mengingat bahwa suatu saat beliau pernah bersabda ”Kalian semua lebih mengerti urusan kalian”, sebuah stateman yang keluar karena kecerobohan dirinya yang menyuruh seorang petani kurma untuk menyilangkan pohonnya sehingga hasil yang didapatkan tidak sebagus yang diinginkan.

Dengan fenomena seperti itu, tentunya Islam sudah menjadi agama yang berkembang dengan beragam pemikiran baik dalam hal profan atau sakral. Perkembangan peradaban yang tiada tara dan menjadi sebuah aset penting bagi generasi berikutnya. Tetapi, mengapa justru saat ini umat Islam mengalami gradasi pengetahuan. Kebodohan dan pembodohan terus merajalela sehingga Islam kini identik sebagai agama orang-orang yang bodoh dan miskin.

Zaman renaissance di barat, tepatnya kemunculan langit kebodohan yang kelam itu. Masa dimana justru orang-orang barat yang notabene beragama Kristen terlepas dari kejamnya belenggu agamawan yang menguras habis seluruh pemikiran brilian di zaman abad pertengahan. Sebut saja, Nicolaus Copernicus yang harus mati dipenggal karena menentang dogmatisme agama saat itu yang mengatakan tentang bumi sebagai pusat alam semesta dan yang lain berputar mengitari bumi serta mengatkan bahwa bumi ini berbentuk datar sehingga bumi ini jika ditelusuri maka pasti ditemukan ujungnya. Seperti itulah gambaran umat Islam saat ini. Gambaran yang sudah terjadi ratusan tahun silam di barat. Fenomena seperti itu datang menyerang umat Islam saat ini dan muncul berawal dari buku karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafudh al-Falasifah, buku yang mengupas habis seluruh pemikirannya yang skeptis terhadap pemikiran filsafat yang notabenenya memang spekulatif, walaupun banyak filsuf lain menduga ia telah kehilangan konsistensi pemikiran karena sebelumnya selama dua tahun ia belajar filsafat dan menulis buku berjudul Al-Maqasid al-Falasifah yang justru memuji pemikiran filsafat yang kritis.

Sejak itulah umat Islam menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan pemikiran ulama zaman dahulu adalah hal yang final dan tidak perlu ditelaah kembali. Pengkultusan terhadap seseorang membuat semua kejayaan masa lalu musnah tak tersisa, yang ada hanyalah kebodohan dan pembodohan massal dan tidak tahu kapan berakhirnya.

Fenomena di atas cukup sebagai pembelajaran bagi kita, generasi muda umat Islam, agar tidak terjadi lagi untuk ke sekian kalinya. Cukup lama sudah kita terbelenggu oleh jahatnya pembodohan, kini saatnya kita mulai berfikir kritis, apalagi jika kita adalah seorang kader organisasi pergerakan yang sejatinya terus begeliat mencari makna. Dengan berfikir melalui paradigma kritis-transformatif, kita akan terus berfikir bebas tanpa rasa takut akan kehilangan esensi ke-Tauhid-an, karena di sini kita dituntut untuk berfikir free from dan free for (bebas dari dan bebas untuk) tanpa melupakan bahwa harus ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Allah dan alam, karena tanpa keharmonisan hubungan antara manusia, Allah dan alam, apalah artinya seorang manusia.

Lebih lanjut, kita juga dituntut untuk berfikir dengan melihat demarkasi (garis pemisah) yang tegas antara wilayah profan (keduniaan) dan sakral (keagamaan), sehingga tidak ada lagi sekularisme (ateisme, tanpa Tuhan) dalam berfikir, yang ada adalah sekularisasi (proses berfikir dengan batas demarkasi antara wilayah profan dan sakral).

Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII

Mukadimah
Senantiasa memohon dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran dan tujuan hidup. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali nilai-nilai ideal-moral, lahir dari pengalaman dan keberpihakan insan warga pergerakan dalam bentuk rumusan-rumusan yang diberi nama Nilai dasar Pergerakan (NDP) PMII. hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti motivasi pergerakan dan sekaligus memberikan legitimasi dan memperjelas terhadap apa saja yang akan dan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.

NDP adalah tali pengikat (kalimatun sawa) yang mempertemukan semua warga pergerakan dalam ranah dan semangat perjuangan yang sama. Seluruh warga PMII harus memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal atau secara bersama-sama, dalam medan perjuangan social yang lebih luas dengan melakukan keberpihakan nyata melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan, dan tindakan-tindakan negative lainnya. NDP ini, dengan demikian senantiasa memiliki kepedulian sosial yang tinggi (faqih fi mashalih al-kahliq fi ad-dunya atau faham dan peka terhadap kemaslahaatan mahluk dunia).

BAB I
ARTI, FUNGSI DAN KEDUDUKAN

ARTI
NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi nilai-nilai ke-Islaman (kemerdekaan/tawasuth/al-hurriyah, persamaan/tawazun/al-musawa, keadilan/ta’adul, toleran/tasamuh) dan ke-Indonesia-an (keberagaman suku, agama dan ras; beribu pulau; persilangan budaya) dengan kerangka pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari, memberi spirit dan élan vital pergerakan yang meliputi cakupan Iman, Islam, Ihsan dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlusunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekontruksi sekaligus merekontruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama toleran, humanis, anti kekerasan dan kritis transformatif.

FUNGSI

A. Kerangka Refleksi (landasan berpikir)
Sebagai kerangka refleksi, NDP bergerak dalam pertarungan ide-ide, paradigma, nilai-nilai yang akan memperkuat nilai-nilai yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran ideal. Ideal-ideal itu menjadi sesuatu yang mengikat, absolut, total, universal berlaku menembus keberbagaian ruang dan waktu (muhkamat, qoth’i). Karenanya, kerangka refleksi ini menjadi moralitas sekaligus tujuan absolut dalam mendulang capaian-capaian nilai seperti kebenaran, keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan, dll.

B. Kerangka Aksi (landasan berpijak)
Sebagai kerangka aksi, NDP bergerak dalam pertarungan aksi, kerja-kerja nyata, aktualisasi diri, pembelajaran sosial yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran faktual. Kebenaran faktual itu senantiasa bersentuhan dengan pengalaman historis, ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah, kerangka ini memungkinkan warga pergerakan menguli, memperkuat atau bahkan memperbaharui rumusan-rumusan kebenaran dengan historisitas atau dinamika sosial yang senantiasa berubah (mutasyabihat, dzanni).

C. Kerangka Ideologis (sumber motivasi)
Menjadi satu rumusan yang mampu memberikan proses ideologisasi di setiap kader secara bersama-sama, sekaligus memberikan dialektika antara konsep dan realita yang mendorong proses kreatif di internal kader secara menyeluruh dalam proses perubahan sosial yang diangankan secara bersama-sama secara terorganisir. Menjadi pijakan atau landasan bagi pola pikir dan tindakan kader sebagai insan pergerakan yang aktif terlibat menggagas dan proaktif memperjuangkan perubahan sosial yang memberi tempat bagi demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM.
KEDUDUKAN
a. NDP menjadi sumber kekuatan ideal-moral dari aktivis pergerakan.
b. NDP menjadi pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktivitas pergerakan.
BAB II
RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN
Tauhid
Mengesakan Allah SWT. Merupakan nilai paling asasi dalam agama samawi, didalamnya telah terkandung sejak awal tentang keberadaan manusia.
* Pertama, Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat dan perbuatan-perbuatanNya. Allah adalah dzat yang fungsional.
* Kedua, Keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari alam semesta, serta merupakan manifestasi kesadaran dan keyakinan kepada ghaib.
* Ketiga, Oleh karena itu tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan dan perwujudan lewat perbuatan.
Maka, konsekuensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan hingga merambah sekelilingnya. Hal ini dibuktikan dengan pemisahan yang tegas antara hal-hal yang profan dan sakral.

Hubungan Manusia dengan Allah
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan pemberian daya pikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentuannya. Untuk itu manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.

Hubungan Manusia dengan Manusia
Tidak ada yang lebih antara yang satu dengan lainnya, kecuali ketaqwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerjasama, menasehati dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama umat Islam, persaudaran sesama warga Negara dan persaudaraan sesama umat manusia. Perilaku persaudaraan ini harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan manfaat maksimal untuk diri dan lingkungannya.

Hubungan Manusia dengan Alam
Alam semesta adalah ciptaan Allah. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukkan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan manusia. Namun Allah menundukkan alam bagi manusia dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan kepada Allah. Allah mendudukkan manusia sebagai khalifah, sudah sepantasnya manusia menjadikan bumi maupun alam sebagai wahana dalam bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya, bukan menjadikannya sebagai obyek eksploitasi.
Salah satu dari hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan dan hukum tersendiri. Alam didayagunakan dengan tidak mengesampingkan aspek pelestariannya.

BAB III
PENUTUP

Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dipergunakan sebagai landasan teologis, normative dan etis dalam pola piker dan perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama. Dengan ini dasar-dasar tersebut ditujukan untuk mewujudkan pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah, berbudi luhur, berilmu cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia, Sosok yang dituju adalah adalah sosok insane kamil Indonesia yang kritis, inovatif dan transformative yang sadar akan posisi dan perannya sebagai khalifah dimuka bumi.
Baca selengkapnya »

Jumat, 02 Desember 2016

0

Struktur PC PMII Kabupaten Karimun

|
Ketua Umum : Parizal
Ketua 1 : Suharno               
Ketua 2 : Tri Kurniadi
Ketua 3 : Abdurrahman AL-H

Sekretaris Umum : Septian Hamzah
Sekretaris 1 : Helvi Suzana
Sekretaris 2 : Abdus Sukri
Sekretrasi 3 : Silvia Evni Dellita

Bendahara Umum : Wina Yuliani
Bendahara 1 : Rina

Biro Kaderisasi dan Pengembangan Sumber Daya Anggota
Koordinator : Virna Sari
Anggota : Sofian dan Sunarsih

Biro Pendayagunaan Potensi dan Kelembagaan Organisasi
Koordinator : Ditta Oktaria
Anggota : Anis Ermalissa dan Delfa Gustiana

Biro Hubungan Komunikasi Pemerintah dan Kebijakan Publik
Koordinator : Aal Aulia
Anggota : Hamsal

Biro Advokasi Masyarakat, HAM dan Lingkungan
Koordinator : Anas Fitra Wanda dan Adri

Biro Dakwah dan Kajian Umum
Koordinator : Mahmud Yasir
Anggota : Samdhy Hamdi dan Muhammad Masrizal

Biro Kaderisasi dan Pengembangan Intelektual dan Ekspoitasi Teknologi
Koodimator : Hermansyah
Anggota : Megawati dan Erna

Biro Pemberdayaan Ekonomi dan Kelompok Professional
Koordinator : Zila Putri
Anggota : Faridah dan Dian Clarissa

Biro Pengembangan Media dan Informasi
Koordinator : Norfaizal
Anggota : Rudi SaputraHazil Eka Darma dan Nurul Hidayah

Biro Hubungan Komunikasi Organ  Gerakan, Kepemudaan dan Perguruan
Koordinator : Bakri Jamal
Anggota : Hendrik dan Edo

Biro Hubungan dan Komunikasi Lintas Agama
Koordinator : Reza Tauhid Darmansyah
Anggota : Rusni Mulyana, Sovia Afiza dan Rahma Dewi Susanti

Baca selengkapnya »

Kamis, 01 Desember 2016

0

Bagaimana Pandangan Mahasiswa Terhadap Liberalisasi Pengelolaan Ikan dan Kepelabuhan??

|

Visi Indonesia menjadi “Poros Maritim” merupakan fokus kebijakan dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo untuk lima tahun ini. “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia,” ujarnya dalam pidato kenegaraan pertamanya Senin, 20 Oktober 2014 di Gedung MPR/DPR.

Masuknya investasi Singapura di pelabuhan katanya telah sesuai dengan konsep tol laut untuk menekan ongkos logistik di Indonesia. Padahal, Kementerian Perhubungan justru memberi kesempatan swasta untuk menggarap pelabuhan di Indonesia terkait tol laut ini. Sebab, anggaran pembangunan atau pengelolaan pelabuhan sangat terbatas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya

Keinginan presiden Jokowi untuk mengembalikan kejayaan maritim Indonesia nampaknya bukan perkara mudah. Hal ini di nilai langkah untuk mewujudkan poros maritim mesti menghadapi sejumlah persoalan struktural. Di antaranya, kebijakan liberalisasi operator pelabuhan seperti yang dialami PT Pelindo II. PT Pelindo II saat ini dikelola bersama operator pelabuhan Hong Kong, Hutchison Ports Indonesia atau HPI. Saham terbesar dikuasai perusahaan Hong Kong itu sebesar 51 persen, sementara Pelindo II hanya 49 persen.

Ungkapan jangan pernah mimpi jika ingin menjadi poros maritim dunia mungkin patut di arahkan ke pemerintah Jokowi-Kalla saat ini. Kalau liberalisasi sektor pelabuhan dilakukan maka potensi itu tak akan beri manfaat bagi Indonesia dan lebih banyak bahayanya. Prinsip kemandirian harus jadi inisiatif, bukan mengobral sektor strategis kita pada bangsa lain.

Lalu diliberalisasinya sektor perikanan dari hulu ke hilir juga merugikan nelayan tradisional dan negara. Menurut laporan FAO (2010), Indonesia ditempatkan sebagai negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia di bawah Tiongkok dengan nilai produksi 5,384 juta ton. Namun, nilai ini tidak berdampak banyak bagi para nelayan tradisional yang jumlahnya mencapai 2,75 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional.

Dengan diliberalisasinya penanganan ikan nasional serta meminta bantuan negara asing terhadap pengelolaan pelabuhan, para pegiat nasionalis yang terutama kalangan mahasiswa yang peduli akan nasib bangsa Indonesia ke depan seakan ingin berteriak dengan sekeras-kerasnya. Kapan Indonesia bisa mandiri? Sebenarnya banyak professional Indonesia yang mampu mengelola pelabuhan, juga swasta nasional asalkan mereka diberi kesempatan.

Baca selengkapnya »

0

Tujuan PMII

|
PMII bertujuan untuk mendidik kader-kader bangsa dan membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa Kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, terampil, cerdas dan siap mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan penuh tanggung jawab. PMII dalam sejarahnya merupakan pelopor, pembaharu dan pengemban amanat intelektual dalam meningkatkan harkat martabat bangsa Indonesia.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalissekaligus politikus legendaris).
Baca selengkapnya »

Senin, 21 November 2016

0

Negara di Ujung Tanduk ; Dialog Bersama Muslim Sejati

|

Telah lama aku amati gerak gerik dari dosen yang satu ini. Orang lain memandangnya mungkin agak takut dengan jubah dan jenggotnya namun aku tidak begitu sama dengan mereka. Sejak malam itu aku menjadi selalu ingin berbincang bersamanya. Bahkan sehabis pulang kuliah akupun rela hingga larut malam mendengar ceramahnya.

Tiba pada malam tadi pembahasam kami amat menarik, seperti biasa kondisi mahasiswa sekarang selalu menjadi perhatiannya lalu yang tak ketinggalan isu sekarang yakni jihad melawan penistaan agama islam. Dalam ceritanya terdapat sebuah ungkapan yang menarik dari mulutnya. Dimana katanya pemimpin korupsi tidak masalah baginya tetapi yang menjadi masalah adalah pemimpin yang kafir.

Kemudian dengan idealisnya aku tanyakan kenapa begitu. Ini tauhid jawabnya. Kita telah di beri petunjuk untuk dilarang berkarib bersama non muslim apa lagi memilih menjadi peimpin. Ia menjelaskan bahwa Tauhid yang dilanggar tersebut maka akan bermuara kesyirikan. Korupsi Allah akan ampuni namun tidak untuk kesyirikan karena itu dosa amat besar.

Aku pun setuju dengan jawaban ilmiahnya, lalu ku lanjutkan dengan pertanyaan mematikan. Jadi selama ini pancasila salah dalam ideologi kita? Terkejut aku jadinya di saat dosen tersebut mengiyakan pertanyaannya saya. Menurutnya sila pertama saja tidak pantas. Seharusnya ditambah dengan beribadah atau bersyariat kepada Allah, bukan hanya sekedar mengakui keberadaan Allah.

Lalu ia mulai menyinggung organisasi-organisasi islam mahasiswa yang turun ke jalan kemaren. Katanya itu semua politik, semua organisasi mahasiswa yang belakangnya huruf I adalah alat para penguasa. Dulu para pendiri ormas islam tersebut mempunyai niat yang baik dan lurus untuk umat. Lalu sekarang oranf berada di dalam tersebut sudah melenceng dari jalurnya sebagai sebuah organisasi. Kepentingan awal untuk umat namun dalam perjalanannya mereka mudah rapuh dengan kepentingan pribadi.

Tambahnya lagi. Tidak ada jihad dengan melakukan turun ke jalan. Cara yang begitu salah seharusnya hanyak cara lain untuk menuntaskan masalah tersebut, kita ada ulama dan tokoh-tokoh muslim di bidang agama bukan politik.

Saya bukan mendukung Ahok tetapi zaman telah semakin tua, berbuatlah kepada kebaikan dan bertobatlah. Ujarnya sambil melihat ke langit gelap.

Ternyata dalam hasil perbincangan ini saya bisa menilai bahwa beliau adalah seseorang yang murni berjalan atas petunjuk Allah, tiada hal yang Ia kerjakan selain hanya untuk dirinya, keluarga beserta orang lain untuk di mengikuti syariat islam yang sebenarnya.

Dan dialog penutup aku rasa telah usai, waktu telah mendekat 00.00 Wib. Dengan sebuah pertanyakan yang ringan aku mulai dengan senyuman. Apakah bapak setuju negara ini menjadi khalifah seperti yang di inginkan oleh umar muslim radikal?? Ya saya tentu mau, tetapi liat dulu siapa yang mau mendirikan kalau organisasi jangan dulu la. Ujung-ujungnya sama malah makin hancur negara ini.

Begitu la dialog dengan seorang dosen yang murni seorang muslim sejati menginginkan kedamaian di negerinya. Lalu aku pun pamit meninggalkannya dengan teman ku yang dari tadi hanya mendengar dialog kami.
Baca selengkapnya »

Senin, 14 November 2016

0

Bhineka Mulai Pudar Tunggal Ika Samar-samar

|

Tersiar berita si Ahok ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian. Berita ini tidak sama sekali mengejutkan bagi rakyat indonesia yang mengikuti perkembangan berita politik di tanah air. Karena sedikit peluang Ahok untuk lepas dari jeratan hukum setelah tanda-tanda dari pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam menangani kasus ini.

Bukan tidak mungkin nanti dalam perkembangan isu ini akan menjadi babak panjang seperti kasus Kopi Maut yang di menjadi terdakwa Jessica. Karena masalah ini masih mengandung kontroversi, selain di anggap sebagai orang yang tidak bersalah, pihak yang pro terhadap Ahok menuding bahwa Ahok telah menjadi korban dari pertarungan pesta politik yang kotor serta tumbal dari terkondusifnya suasana yang sensitif ini. Sehingga walau dalam pembuktiannya Ahok tidak bersalah mau tidak mau Ahok akan tetap dipenjara demi keinginan suatu golongan.

Sepertinya ini menjadi masalah panjang bagi kita masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Bukan saja pihak terkait yang mengusut harus berkeringat panjang. Masyarakat yang mengikuti mungkin akan capek dan segera merapatkan barisan dengan berbagai ideologinya untuk mempertahankan sebuah kepercayaannya masing-masing. Potensi kegiatan saparatis mungkin akan terbalik, dimana akan berada di tangan minoritas.

Kemudian, adanya isu ini membuat pemerintah mempunyai tugas yang begitu berat. Jika tidak dibaca dengan baik. Situasi yang sudah mulai sejuk akan menjadi panas lagi dengan pergejolakan yang tersamarkan oleh isu-isu baru akibat ketidakwaspadaan pemerintah untuk menanggulangi ancaman tersebut.

Provokasi akan ada dimana-mana baik itu dari masing-masing pendukung pihak yang terkait dan juga tentunya dari pihak asing. Kedua pemain ini sama besar bahayanya dan salah satunya pasti akan memenangi pertaruhan ini untuk menghancurkan NKRI. Lambat tapi pasti kita sudah mulai di hancurkan. Sadarlah ...
Baca selengkapnya »

Sabtu, 12 November 2016

0

Semodern Apapun Zaman Buku Akan Tetap Menjadi Rujukan Terbaik

|

Akhir zaman di tandai salah satunya dengan diangkatnya ilmu. Maksud ilmu disini bisa saja para wali Allah seperti ulama, kiyai, tokoh, pemimpin adil dan sebaginya yang akan di angkat ke langit. Secara tidak langsung ilmunya juga terangkat. Lalu ilmu pengetahuan hadir sebagai pencerah kehidupan manusia dalam mewujudukan peradaban yang lebih baik, jika ilmu tidak ada maka kehidupan di dunia akan vakum dengan subjeknya yang tidak dapat mengembangkan apa yang ada di bumi.

Ilmu pengetahuan di dapat dengan berbagai cara salah satunya dengan 5 indera yang ada pada manusia. Ketika ilmu yang di dapat, pada prosesnya terdapat sesuatu kekuatan begitu luar biasa yang dapat menyimpan ilmu tersebut. Sehinggalah ilmu-ilmu terdahulu masih tetap ada dan dapat dipelajari hingga sekarang, yakni kekuatan ingatan. Ingatan semua orang relatif, pada zaman Rasulullah ingatan seseorang mayoritas lebih baik dan kuat ketimbang sekarang yang menjadi minoritas. 

Untuk itulah buku hadir sebagai pengimbang dalam kehidupan masa depan. Buku bukan saja karya tulis yang sekedar untuk di baca, tetapi juga memiliki peran yang sangat vital bahkan salah satu penyebab pengatur sebuah sistem dalam setiap waktu. Buku hadir mengajarkan manusia baca dan tulis, dengan kebiasaan itu semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang panjang terlampai, lama menjadi dekat dan semua berawal dari ilmu pengetahuan yang di aplikasikan ke dalam karya tulis (buku). Begitah sifat ilmu, selalu menghasilkan sesuatu ketika dikembangkan.

Hanya sekedar ingatan kita tidak mampu, kecuali mendapat kekuatan IQ khusus atas izin Allah seperti Abu Hurairah. Namun bagaimana jika ia telah tiada? Lalu baca tulis tidak dilakukannya? Maka yang terjadi adalah bom waktu yang siap menghancurkan generasinya.

Maka kembali lagi pada sejarah terbaik di dunia, yakni di zaman Rasulullah, sahabat, tabi'in dan seterusnya. Sebuah buku -bukan saja Al-Qur'an, buku lainnya juga- di kumpulkan menjadi satu dan puncak kesadaran tersebut terjadi dikala ketakutan orang-orang akan di angkatnya para wali Allah dan orang-orang alim yang berilmu. Tujuan kesadarannya juga agar ilmu tidak di angkat ke langit dan bisa diteruskan kepada generai berikutnya.

Begitu pentingnya buku di mata sejarah manusia, sehingga layak kita muliakan buku-buku ini. Bahkan karena bukulah internet hadir dan karena buku kita bisa membaca dan menulis di era serba digital sekarang.
Baca selengkapnya »

Jumat, 11 November 2016

0

Sadar, dan Bangkitlah Asia

|

Manusia di Asia juga mempunyai budaya yang cukup kental yaitu budaya kerukunan sehingga manusia di Asia apabila ada suatu perbedaan pendapat dengan pendapat manusia yang lainnya lebih baik diam saja daripada pendapatnya dikemukakan dan membuat suatu pertengkaran sehingga manusia di Asia tidak bisa berkembang secara optimal di banding dengan negara liberalis yang bisa mengemukakan pendapat dengan bebas walaupun pendapatnya itu berseberangan.

Peradaban modern yang tak terbendung dengan globalisasi sebagai ikon utamanya telah menghadirkan suatu paradigma baru. Pradaban modern tak lain adalah pradaban Barat yang diakui sendiri oleh mereka sebagai pradaban universal dan patut dicontoh oleh selainnya. Dan memang diakui bahwa sampai saat ini Barat unggul dalam segala bidang, mulai dari teknologi, perekonomian, keilmuan dan kesejahteraan rakyat, dibandingkan dengan negara di luarnya, terutama Asia.

Asia tidak saja ketinggalan dalam bidang-bidang itu, melainkan juga hanya menjadi konsumen atas “produk-produk” Barat, seperti kebebasan individu dan demokrasi. Keculi Jepang, China, dan Macan Asia (Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura), pola pikir masyarakat selain negara-negara tersebut masih dinilai stagnan. Fregmentasi histori peradaban yang beberapa abab lalu berjaya di bumi Asia hanya mampu menunjukkan romatisme sejarah.

Maka tak heran bila Kishore Mahbubani mempertanyakan kemampuan berpikir orang Asia dengan “Bisakah Orang Asia Berpikir?”. Pertayaan ini bukanlah melecehkan masyarakat Asia, melainkan sebuah kesadaran yang datang terlambat ketika perkembangan peradaban Asia mulai memasuki ranah yang lebih maju. Diakui atau tidak, menjelang abad 21 perkembangan Asia, khususnya Asia Pasifik, begitu pesat terutama bidang perekonomian.

Menurut Mahbubani, Timur (baca; Asia) dan Barat memiliki ciri khas perpikir. Pola pikir orang Asia besifat ‘holistik’, yakni perhatian yang lebih menekankan pada konteks, toleran pada kontradiksi, dan sedikit bergantung pada logika. Sedangkan orang Barat cendrung berpola pikiran ‘analitis’, menghindari kontradiksi, berfokus pada obyek-obyek yang berbeda dari konteksnya, dan lebih mengedepankan logika (hlm.xxxi). Atau dalam bahasa Dawam Raharjo, dalam pengantarnya, orang Barat lebih rasional, sedangkan orang Asia lebih emosional. Inilah perbedaan mendasar dari tipelogi dua masyarakat, Timur dan Barat.

Sejarah mencatat bahwa beberapa pradaban seribu tahun yang lalu begitu sukses dan tumbuh subur di bumi Asia. Saat itu, orang China, Arab dan India memimpi perkebangan paradaban. Dan diantaranya pula terjadi pertukaran kebudayaan yang saling mendukung kemajuan dari masing-masing. Sedangkan Eropa masih dalam masa “kegelapan” yang dimulai ketika runtuhnya Kekaisaran Romawi. Namun, apa yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan, ketiga peradaban besar Asia itu runtuh dan terpuruk dalam keterpencilan sejarah.

Sebaliknya, bangsa Eropa-lah yang maju ke depan, muncul sebagai peradaban pertama yang mendominasi dunia. Keajaiban seakan menyeruak dalam pikiran orang Eropa. Perubahan terjadi diseluruh sektor kehidupan. Perubahan yang diikuti kemajuan dan peningkatan peradaban, dari renaisan hingga pencerahan, dari revolusi saintifik hingga revolusi industri, yang akhirnya menjadikan dunia diluanya sebagai negeri koloninya. Yang paling menyakitkan pada Asia bukanlah kolonisasi fisik, tetap kolonisasi mental yang menyebabkan orang Asia menyakini superior Barat. Bila berkaca pada sejarah diatas, maka, menurut Mahbubani, jawaban dari pertayaan yang dijadikan judul bukunya adalah “tidak bisa”, orang Asia tidak bisa berpikir. Alasannya, bagaimana mungkin peradaban Asia yang begitu maju luluh lantak. Namun ia juga memberikan alasan untuk jawaban “bisa” dari pertayaannya.

Prestasi ekonomi masyarakata Asia Timur adalah salah satunya. Kedua, adanya perubahan penting yang tengah terjadi dalam pikiran-pikiran orang Asia. Mereka tak lagi percaya jika satu-satunya cara berkembang adalah dengan jalan menjiplak atau membebek. Sekarang mereka yakin bisa membuat solusinya sendiri. Peruabahan pikiran orang Asia terjadi pelan-pelan. Memang mereka tidak sempurna, tapi jelas-jelas tampak superior. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa, seperti masyarakat Barat, mereka memiliki filsafat, budaya, dan sosial yang kaya yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan untuk mengembangkan masyarakat modern dan berkembang. Ini sebagai alasan ketiga.

Namun, tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Asia jauh lebih kompleks sebelum bisa meraih tingkat prestasi yang komprehenif. Misalnya Tantangan serius dalam bidang sosial dan keamanan, yang sampai saat ini masih sering terjadi perang sipil dan pemberontakan dalam negeri, masih memperlihatkan wajah kesuramannya. Hal ini, menurut Mahbubani memungkinkan untuk menjawab mungkin dari pertayaannya. Selain itu, yang “mungkin” adalah pemeliharaan kekuatan tradisi nilai-nilai Asia, seperti kasih sayang pada keluarga sebagai institusi, rasa hormat pada kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, dan rasa hormat pada pemimpin, menumbuhkan mind Asia yang khas.

Jika tolok ukurnya adalah peradaban Barat yang bisa diserap untuk seluruh segemen kehidupan di Asia, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana orang Asia menyerap apa yang dimilikinya seperti ia menyerap apa yang telah diprakarsai oleh Barat. Akan tetapi yang sangat memungkin atas pilihan jawaban “mungkin” adalah optimisme orang Asia, sama halnya ketika bangsa Eropa memiliki optimisme saat memasuki renaisan. Dan kepercayaan akan perubahan ini harus dipupuk sedemikian agar tetap bersemi dan membuahkan keberhasilan.

Dalam bahasa Mahbubani, perubahan itu hanyalah masalah waktu (ketika, bukan jika), peradaban Asia mencapai perkembangan yang sama dengan peradaban Barat (hlm.xli). Artinya keniscayaan peruabahan Asia bukan ide utopis, melainkan suatu kenyataan riil. Hegemoni dan dominasi Barat atas Timur akan runtuh secara bertahap.

Bila dikaitkan dalam konteks Indonesia, pertanyaan seperti yang dilontarkan Mahbubani ini tentunya akan memberikan dampak positif untuk perkembangan Indonesia di masa depan. Sebab, munculnya pertayaan seperti tanyakan Mahbubani dari judul buku ini, tak lain hanyalah upaya merangsang masyarakat Asia untuk memulai perubahan yang sebenarnya mampu mereka lakukan. Karena merupakan kesalahan besar ketika manusia Asia hanya bisa menjiplak ‘produk’ Barat tanpa bisa mengembangkannya menjadi sebuah kritik akan stnagnasi yang telah mengkronis.
Baca selengkapnya »

Kamis, 10 November 2016

0

"Perubahan", Kalau Bukan Kita Siapa Lagi.

|
 

    Mungkin dalam hidup ini sangat sulit bagimu untuk mengembalikan sesuatu yang pernah kamu campakan, dan kamupun tidak akan pernah bisa untuk menerima sesuatu yang pada akhirnya membuat kamu dicampakkan. Terkadang kisah hidup ini tidak sesuai dengan harapan yang telah direncanakan. Hidup yang indah, menyenangkan, tenang, tentram, damai, bahkan bahagia. Semua itu hanya indah diangan-angan saja. Mampu menerima segala sesuatu yang terjadi, untuk sekali atau dua kali masalah yang kamu hadapi mungkin kamu bisa dengan lapang dada menerimanya. Setelah masalah itu selesai, namun ada dan ada lagi masalah yang harus diselesaikan. Yaaa….. semua itu sangat sesak di dalam dada. Semua itu seakan membuatmu merasa bahwa dunia ini tak adil buatmu. Lalu apa? Apa yang mampu membuatmu mendapatkan hal yang selalu kamu dambakan? Apakah dengan menangis semua akan iba dan datang kepadamu? Tidak! Tidak aka ada kebahagiaan yang datang pada orang yang hanya mampu pasrah. Hidup itu adalah pilihan, dan pilihan itulah yang menentukan nasibmu.

    Lalu langkah apa yang akan kamu ambil? Saya pernah membaca sebuah novel yang berjudul “berani mengubah”. Di dalam buku tersebut saya menjumpai sebuah kalimat yaitu “pada zaman sekarang banyak pemuda yang menuntut perubahan, namun tidak dapat menciptakan perubahan”. Dari kalimat tersebut saya mengambil sebuah kesimpulan, bahwa pemuda yang baik adalah pemuda yang mampu menciptakan sebuah perubahan. Baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Namun mirisnya pada zaman sekarang ini adalah, kebanyakan dari pemuda-pemuda Indonesia adalah pemuda yang menuntut perubahan. Sedang pada diri pemuda itu sendiri tidak ada keinginan untuk melakukan sebuah perubahan. Lalu sekarang, apa sih perubahan itu? Perubahan adalah peralihan ataupun pertukaran. Kamudian, perubahan apa yang dimaksud dalam hal ini? Ya, dalam hal ini saya memaksudkan perubahan pada pola pikir dan sikap pemuda-pemuda pada zaman sekarang. Apa sih yang harus dirubah dari sikap para pemuda zaman sekarang? Jadi, yang harus di ubah dari sikap pemuda zaman sekarang adalah sikap yang tidak bertanggung jawab, sikap yang tidak mampu menghargai orang lain, sikap yang tidak tahu etika dalam bertindak, dan sikap yang semakin parah karena pengaruh pergaulan.

    Sebenarnya, apabila disebutkan satu per satu, ada banyak sekali sikap-sikap pemuda zaman sekarang yang sangat meleset dari aturan dan hukum yang berlaku. Seperti contoh kecilnya yaitu, seorang anak yang menerima atau memberikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan tangan kiri. Itu baru contoh kecil yang masih bisa ditoleransi. Lalu apa lagi kenakalan para pemuda khususnya para remaja zaman sekarang? Saat ini sikap pemuda (remaja) yang sangat buruk adalah pada pergaulan bebas. Itu adalah contoh yang sangat sering terjadi pada zaman sekarang.

    Sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh para pemuda agar dapat menciptakan perubahan? Langkah awal untuk menciptakan perubahan adalah harus adanya kesadaran pada diri sendiri. Apabila kita sudah mampu melakukan perubahan pada diri kita sendiri, maka akan mudah untuk kita menciptakan perubahan di kalangan para pemuda.

    Namun yang sangat di sayangkan adalah, etika dan kesadaran dari setiap individu itu sangat minim. Sehingga perubahan pada sikap dan pola pikir para pemuda sangat sulit untuk dilakukan. Kebanyakan pemuda pada zaman sekarang adalah pemuda yang hanya memikirkan kepuasan sesaat, tanpa adanya keinginan untuk memikirkan masa yang akan datang/masa depan. Seperti yang kita ketahui, nasib suatu bangsa tergantung pada pemuda-pemudanya, apabila pemuda bangsa itu rusak, maka bangsa itu sendiripun akan rusak. Namun, apabila pemuda bangsa itu adalah pemuda yang bertanggung jawab dan peduli akan perubahan, maka akan majulah bangsa tersebut.

    Jadi kesimpulannya adalah, perubahan yang baik akan membawa kita menjadi pemuda yang baik. Namun perubahan yang buruk, akan merusak masa depan dan hidup kita.

“Mari kita laksanakan perubahan pada diri kita, bukan untuk merusak masa depan, namun menjadikan masa depan yang cemerlang.”






Penulis : Mutya Dwieningtyas (Siswi SMA 4 Binaan)
Baca selengkapnya »

0

7 Hal Penting Sebelum Presentasi

|

Presentasi adalah salah satu cara menyampaikan informasi kepada orang lain secara menarik dan informatif. Presentasi sangat penting, apalagi bagi seseorang mahasiswa. Mengapa demikian? Karena setiap mahasiswa harus bisa memaparkan setiap gagasannya di depan dosen atau pun di depan orang banyak. Agar semua materi dapat tersalurkan dengan baik dan mendapat perhatian dari para peserta, maka  kita perlu melakukan berbagai persiapan agar hasil yang kita harapkan tercapai. Berikut ini merupakan beberapa metode  yang perlu dipersiapkan sebelum presentasi, khususnya bagi mahasiswa Universitas Karimun:

1. Tentukan tujuan anda presentasi
Setiap presentasi pasti memiliki sebuah tujuan yang menjadi arah bagaimana anda akan memberikan presentasi tersebut. Secara umum tujuan dari presentasi adalah untuk memberitahu dan membujuk peserta/audiens untuk melakukan sesuatu. Jika sebuah presentasi bertujuan untuk menginformasikan sesuatu maka susun materi dengan detail dan informatif sehingga audiens yang sama sekali belum tahu persoalan menjadi mengerti dan paham. Tetapi, apabila presentasi tersebut bertujuan membujuk maka presentasi harus menyajikan sesuatu hal yang memiliki sisi emosi untuk mengubah sikap audiens dan mengajak mereka melakukan sesuatu seperti menyetujui ideaAnda, dan lain sebagainya.

2. Kenali audiens
Dengan mengenali para peserta kita akan mengetahui bagaimana penyajian presentasi yang tepat dan tahu bagaimana cara pendekatan dengan mereka. Mungkin yang hadir adalah seorang penting yang sangat senang dengan grafik dan angka. Maka penyajian grafik yang baik dan penjelasan di balik apa yang terjadi pada angka-angka akan menjadi nilai tambah. Sebaliknya bisa jadi orang yang ingin anda beri tahu dalam presentasi memiliki tipe visual, sangat senang dengan gambar, diagram dan contoh-contoh nyata. Untuk orang seperti ini anda pun dapat menyesuaikan slide presentasi dengan gambar yang dibutuhkan.

3. Tentukan topik presentasi
Apa topik yang akan saya sampaikan? Apakah topik ini dibutuhkan oleh teman-teman anda yang menjadi peserta? Itulah beberapa pertanyaan yang perlu anda tanyakan pada diri anda sebelum menentukan topik presentasi. Dengan begitu anda akan mudah menemukan topik dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta. Usahakan topik nda menarik dan menggugah peserta untuk mendengarkan.

4. Susunlah kerangka presentasi
Dalam menyusun kerangka presentasi, alangkah baiknya jika kita membuat pemetaan ide. Pemetaan ide dapat menggambarkan pokok-pokok pikiran yang penting atau keyword dari hal-hal yang akan anda jelaskan dalam presentasi. Hal ini dapat mempermudah anda dalam merangkai setiap materi presentasi secara urut dan memberikan gambaran lengkap dari presentasi dan poin-poin penting yang harus disampaikan.

5. Buatlah materi presentasi
Dalam membuat materi presentasi, pilihlah sumber yang dapat dipercaya serta perhatikan pula kesesuaian isi materi yang anda susun dengan apa yang dibutuhkan oleh peserta seminar dan tidak asal-asalan. Anda bisa mendapatkan materi dari pengalaman pribadi, buku, jurnal, hasil penelitian, majalah, internet atau koran. Presentasi sebaiknya menggunakan kalimat yang ringkas sehingga kemudian Anda bisa menjelaskan dengan memberikan rangkaian materi.

Dua hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam membuat materi adalah bagian pembuka dan penutup. Karena pada bagian ini merupakan kesempatan Anda meraih perhatian dari para peserta seminar. Untuk bagian pembuka, jika perlu ingat bagian pembukaan yang Anda persiapkan berupa pernyataan, kutipan, pertanyaan, kisah atau bahkan sebuah humor. Pembukaan yang baik dan lancar akan menciptakan rasa percaya diri untuk kelanjutan presentasi. Pada bagian penutup, berikan kesimpulan yang akan diingat terus oleh audiens.

6. Tambahkan bantuan-bantuan visual
Salah satu alat bantu visual adalah slide presentasi. Buatlah slide presentasi lebih menarik. Dalam membuat slide ada beberapa prinsip yang harus Anda pahami, yaitu sebagai berikut :

• Sederhana
• Konten yang kuat
• Font yang indah
• Gambar yang menarik dan sesuai
• Penggunaan warna yang tepat
• Mematuhi prinsip CRAP, yaitu Contrast, Repetition, Alignment dan Proximity.

Prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam menyiapkan slide adalah gunakan hanya poin-poin utama dan penting. Jangan membuat slide yang terlalu detail dan berisi seluruh hal yang anda akan ucapkan. Jika itu dilakukan, peserta akan membaca slide dan mereka tidak perlu lagi mendengarkan kata-kata Anda lagi.

Beberapa tips dalam pembuatan slide adalah tidak terlalu banyak teks dalam suatu slide. Gunakan gambar, diagram dan tabel untuk membantu menjelaskan suatu konsep, data dan fakta. Jangan membuat slide yang terlalu kompleks karena akan sulit dicerna dalam waktu singkat oleh peserta dan cenderung membuat peserta lelah sehingga tidak fokus pada apa yang anda sampaikan.

7. Latihan P\presentasi
Latihan terbaik dapat dilakukan dengan mengundang beberapa teman untuk mendengarkan presentasi anda. Minta mereka untuk memberikan komentar terhadap materi yang disampaikan, cara penyampaian dan hal-hal apa yang perlu diperbaiki.

Latihan ini akan membantu anda mengetahui sejak dini apakah anda sudah cukup siap dan menguasai materi presentasi atau masih ada hal-hal lain yang perlu diperbaiki. Semua pembicara handal selalu melakukan latihan sebelum melakukan presentasi. Dengan latihan yang baik anda akan lebih percaya diri, mampu menyesuaikan materi dengan waktu, dan anda akan menemukan cara terbaik dalam menyampaikan presentasi.
Baca selengkapnya »

Rabu, 02 November 2016

0

NU Pelakon Utama Dalam Perangi Paham Radikal

|

Menarik sekali judul berita media online yg menegaskan lebih kurang seperti ini ; NU sebagai pelakon utama perangi mewabahnya islam radikal.

Menurut saya, islam indonesia sudah hebat bisa berdiri dengan toleransinya yang tinggi. Dan paham itu kita namakan islam moderat. Selama ini mereka yang ingin menegakkan syariat islam tersebut berfikir seolah yangg menghuni di indonesia hanya 1 agama, suku dan ras. Padahal nyatanya tidak, terbukti dengan adanya 4 pilar indonesia masih bisa eksis dengan label republiknya.

Memang, manusia pasti tidak selamanya bisa bersatu. Faktor yg mempengaruhi itu ialah dari segi pandangan, dogma/sekte, tingkat pendidikannya, lingkungan sekitar bahkan guru yang dicontohi. Tapi ingat tujuannya sama, hanya caranyalah yangg perlu di lihat apakah tepat untuk di zaman ini atau pada zaman yang akan datang. Maka, kembali lagi ke Teori Generasi.

Saya disini sebagai pemuda Nadhalatul Ulama bersikeras bahwa ajaran islam yg sesungguhnya adalah islam cintai damai. Jika kita islam terus-terusan saja brmain isu SARA, secara tidak langsung isu SARA ini sedang kita gunakan unttk memecah kemajemukan indonesia. Dimana akan ada rasa ketakutan dri suku, ras dan agama lain sikap dari intoleran kita. Jadi dimana letak islam sejati kita ?? Apakah kita secara tidak sadar telah terpngaruhi islam fanatik radikal. Yang pintar-fanatik saja tahu kalau radikal itu melanggar alias tidak sesuai dengan kultur kita (asia tenggara).

Oke. Kalau ini kasus pemimpin yang di larang non muslim. Lalu kasus penghinaan Al-Qur'an. Namun kita jangan lupa dibalik itu ada pesta demokrasi yang membungkus menjadi 1 paket.
Jadi hemat saya selesaikan 1 persatu sesuai dengan irasional (dimana tidak akan menimbulkam konflik yang berkepanjangan) sbaiknya selesaikan dahulu pilkada ini. Dan ulama bserta lembaganya berhak menyarankan utk menysariatkan ajaran islam agar tidak memilih pemimpin kafir. Lalu ktika sudah selesai pilkada -menang atau kalah- Ahok harus diadili sesuai perbuatan yang dilakukannya.

Saya rasa itu lebih baik ketimbang diperiksa disaat pilkada berlangsung, lalu jika hasilnya terbukti walhasil menyisakan 2 pasangan. Dan ini sangat tidak adil dalam budaya berdemokrasi. Lalu jika pun Ahok tidak terbukti bersalah, polisi akan jatuh pamornya sebgai pihak yang bertanggung jawab atas penodaan agama oleh umat muslim radikal.

Akhirnya, kini NU berperang melawan paham radikal!!

Rudi Saputra

Baca selengkapnya »

Minggu, 30 Oktober 2016

0

Sejarah Pendidikan Tinggi di Indonesia

|


Secara umum sejarah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya baru dimulai pada awal abad ke-20 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada tahun 1920. Namun demikian cikal bakal pendidikan tinggi di Indonesia sudah disemai oleh pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19 dengan didirikannya School tot Opleiding voor Indische Arsten (STOVIA), sebuah lembaga pendidikan dokter Jawa di Batavia. Lembaga pendidikan tersebut untuk sementara mengambil alih peran yang mestinya dimainkan oleh lembaga pendidikan tinggi, mengingat STOVIA ketika pertama kali didirikan tidak lebih dari sekolah menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun. STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi baru pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Pada periode berikutnya didirikan pula Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtkundigen) pada tahun 1909 di kota yang sama, dan sekolah dokter di Surabaya pada tahun 1913 yang diberi nama Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) dengan masa studi tujuh tahun.

Dengan berdirinya STOVIA dan NIAS maka di Indonesia telah ada dua lembaga pendidikan tinggi bidang kedokteran yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Adalah menarik mengapa cikal-bakal perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga pendidikan kedokteran bukan lembaga pendidikan teknik atau pendidikan hukum. Hal ini terkait erat dengan persepsi orang-orang Barat yang tinggal di Indonesia pada waktu itu yang memandang bahwa alam Indonesia dan perilaku keseharian masyarakat merupakan sumber penyakit. Indonesia yang berada di wilayah tropis merupakan lahan yang subur untuk berkembangbiak penyakit. Di samping itu perilaku sehari-hari masyarakat juga amat tidak sehat. Rumah-rumah dibuat dari bahan seadanya seperti dari anyaman bambu dan atap dari ilalang yang merupakan tempat yang amat disenangi oleh tikus. Buang air besar juga dilakukan di sembarang tempat yang tentu saja menjadi media yang efektif untuk penyebaran penyakit. Perilaku masyarakat yang amat tidak sehat dan kondisi alam tropis yang amat lembab dengan curah hujan yang tinggi menjadi media yang efektif untuk terjangkitnya wabah penyakit. Kondisi semacam ini amat menakutkan penduduk Eropa di yang tinggal Indonesia.[1]

Berbagai usaha dilakukan agar mereka tidak tertular berbagai penyakit tropis. Maka didirikanlah perguruan kedokteran sehingga lulusannya diharapkan dapat berperan aktif dalam mencegah timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian lembaga pendidikan kedokteran pada awalnya adalah semata-mata untuk kepentingan masyarakat Eropa. Pengobatan dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat pribumi pada waktu itu pada hakekatnya adalah untuk menangkal agar penyakit tidak menjalar dan menjangkiti masyarakat Eropa.

Ketika kebutuhan akan tenaga medis semakin tinggi, maka pemerintah kolonial bermaksud untuk memperluas pendidikan dokter tidak hanya di Batavia tetapi juga di Surabaya. Gagasan ini muncul pada tahun 1911 yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menambah jumlah dokter  serta mempertimbangkan laporan-laporan bahwa sistem pendidikan dokter yang selama ini berjalan perlu mendapat perbaikan.[2] Namun upaya pengembangan tersebut sempat ditentang oleh dokter-dokter Eropa lulusan negeri Belanda. Menurut mereka pendirian lembaga pendidikan kedokteran bagi pribumi dan golongan Indo tidak akan menghasilkan dokter yang cakap. Ketika NIAS akan didirikan di kota Surabaya para dokter Eropa di Indonesia yang tergabung dalam Bond van Geneesheers mencela maksud pemerintah itu melalui buletin yang dikeluarkan oleh perkumpulan itu pada bulan September 1912. Mereka mengatakan bahwa golongan Bumiputra tidak cakap dalam bekerja dan cenderung malas. Golongan Bumiputra dianggap enggan jika pekerjaannya hendak diperiksa karena hasil pekerjaannya itu memang tak tahan uji dan kritik. Jarang sekali didapati sifat kemauan yang teguh pada mereka kecuali kemauan di dalam perkara melakukan segala kejahatan. Tak ada suatu kebaikan yang boleh diharapkan dari pihak mereka.[3]

Sebuah sindiran yang amat kasar dari dokter-dokter Eropa terhadap kelompok masyarakat Indo di Indonesia. Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa pada masa kolonial pembentukan berbagai lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi didasarkan atas sentimen rasial dan berdasarkan status sosial.[4] Walaupun muncul kritik yang sangat tajam dari perkumpulan dokter Eropa namun pada tahun 1913 pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi kedokteran di kota Surabaya yang diberi nama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS). Pada awal berdirinya lembaga pendidikan dokter ini dipimpin oleh Dr. A.E. Sitsen yang berasal dari STOVIA Batavia.[5]

            Sebagai bagian dari sistem kolonial, pendidikan pada periode ini bersifat elitis dan hanya menyentuh kalangan terbatas. Golongan Bumiputra yang tersentuh sistem pendidikan hanya terbatas pada kelompok aristokrat, yaitu kelompok yang secara aktif dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat untuk mengesploitasi kekayaan bumi Indonesia. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bersentuhan dengan sistem pendidikan modern hanya pada level tertentu saja yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan mobilitas vertikal secara maksimal. Eskploitasi kolonial yang berbasis pada kekuasaan tradisional telah memaksa pemerintah kolonial untuk memberdayakan keluarga-keluarga penguasa tradisional melalui saluran pendidikan modern. Mereka sadar bahwa anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional suatu saat akan menjadi bagian dari kelompok yang akan memperlancar usaha-usaha pemerintah kolonial untuk mengelola negara jajahan yang sedang mereka usahakan.

            Gagasan awal berbagai sekolah khususnya pembukaan lembaga pendidikan tinggi oleh pemerintah kolonial adalah sebuah kebijakan pendidikan yang “melayani kepentingannya sendiri.” Dengan kebijakan ini maka tercipta pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara minoritas kecil pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas atau keluarga aristokrat dan sebagian besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Secara kasat mata pembukaan THS pada tahun 1920 di kota Bandung adalah implementasi dari kebijakan untuk melayani kepentingannya sendiri tersebut. Persis dengan kebijakan pembukaan lembaga pendidikan dokter di Indonesia, sebelum THS berdiri kebutuhan akan tenaga teknik terdidik yang diperlukan untuk membangun berbagai infrastruktur fisik yang mendukung kekuasaan kolonial di Indonesia disuplai dari lulusan pendidikan teknik di Eropa khususnya dari negeri Belanda. Namun dengan meletusnya Perang Dunia Pertama hubungan antara negeri belanda dengan Indonesia menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut menyulitkan pengiriman tenaga teknik terdidik ke Indonesia serta sebaliknya, sulitnya mengirim lulusan sekolah menengah di Indonesia ke negeri Belanda untuk dididik di perguruan teknik di negeri induk tersebut. Akibatnya pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang berat dan tidak dapat berfungsi dengan lancar. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa Indonesia harus memiliki lembaga pendidikan sendiri dan dengan demikian pula akan meningkatkan kehidupan intelektual di negeri ini.

            Upaya untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia bukan hal yang mudah, walaupun hal tersebut bertujuan untuk melengkapi sistem kolonial yang sedang berjalan. Pada awal abad ke-20 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia “belum matang” untuk berdirinya suatu perguruan tinggi karena belum memiliki sekolah menengah yang memadai yang merupakan sumber murid yang potensial yang akan didik di perguruan tinggi. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menujukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademis berkaitan dengan prestasi yang diraih oleh para lulusan STOVIA.

            Di balik keraguan tersebut pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan dibentuknya perguruan tinggi teknik karena didesak keadaan bahwa kebutuhan akan tenaga teknik terdidik harus segera dipenuhi. Pada tahun 1918 dibentuk Technisch Onderwijs Commissie, suatu panitia pendidikan teknik yang bertugas memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara mengatasi kebutuhan pendidikan teknik lanjutan. Panitia ini diketuai oleh J.CH. de Vooght, seorang pensiunan mayor jenderal dan anggotanya antara lain kepala-kepala dinas pemerintahan, seperti kepala irigasi, pertambangan, tenaga air, listrik, kereta api, kepala-kepala pabrik, wakil departemen pengajaran, kepala sekolah teknik menengah, dan inspektur sekolah menengah. Dalam peremian panitia ini gubernur jenderal menegaskan bahwa panitia ini dapat mulai bekerja dengan anggapan bahwa perlunya pendidikan teknik tinggi, dan tugas panitia ini adalah mencari jalan terbaik untuk mewujudkannya. Pada tahun 1920 sebuah perguruan teknik tinggi pun berhasil didirikan di Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Lembaga pendidikan teknik ini menjadi lembaga pendidikan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia dengan kurikulum perguruan tinggi dan menghasilkan lulusan seorang engineer. Perguruan tinggi yang hanya memiliki satu jurusan yaitu de afdeeling der Weg en Waterbouw tersebut pada tahun 1924 secara resmi diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah dengan status sebagai perguruan tinggi negeri. Pada tahun yang sama Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundigen) juga dinaikan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1927 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) yang merupakan kelanjutan dari STOVIA.

            Berdirinya lembaga pendidkan tinggi di Indonesia pada awal abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya kebijakan Politik Etis yang awalnya disuarakan oleh para pendukung Van Deventer di negeri Belanda. Ia yang dengan lantang menggemakan ide tentang “Hutang Kehormatan” kemudian disauti oleh pidato Ratu Belanda bahwa Nederland mempunyai kewajiban moral untuk memenuhi terhadap penduduk di Indonesia. Kemerosotan kesejahteraan harus diatasi dengan sebuah perhatian khusus. Politik Etis menentang politik eksploitasi materialistis pada masa silam dan harus menggantinya dengan sikap laissez faire yang lebih manusiawi. Politik ini menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Dengan mengatasnamakan Politik Etis sekolah-sekolah dibuka untuk mengimplementasikan ide-ide yang dilahirkan oleh Van Deventer. Pendidikan dan emansipasi menjadi inti dari Politik Etis. Pendidikan di Indonesia harus juga diarahkan kepada tujuan untuk membebaskan rakyat secara berangsur-angsur dari ketidakmatangan yang dipaksakan agar mandiri di atas kaki sendiri.

            Namun sejatinya gagasan Politik Etis tidak pernah bisa berjalan sebagaimana dibayangkan oleh para pengagasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai implementasi dari gagasan besar Politik Etis tidak pernah menemukan momentumnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara luas. Para alumni perguruan tinggi yang dihasilkan pada periode ini alih-alih akan menjadi penuntun rakyat Indonesia menuju kesejahteraan yang diidam-idamkan oleh para pengagas ide besar tersebut, justru pada kenyataannya sebagian besar menjadi bagian dari sistem yang berjalan atas kehendak para pemodal asing. Pendidikan tinggi pada kenyataannya berfungsi untuk menopang kekuasaan kolonial yang disangga oleh para pemodal swasta. Namun demikian masih terdapat celah dari sistem pendidikan yang sepenuhnya dimodali dan dipupuk oleh semangat kolonialisme. Celah tersebut tumbuh dan membesar dari para mahasiswa yang sadar bahwa di pundak mereka cita-cita kemerdekaan Indonesia disandarkan. Pada periode ini gagasan kesadaran berbangsa tumbuh dari persemaian pendidikan tinggi yang disirami oleh semangat kebebasan yang mulai tumbuh. Dari STOVIA lahirlah Budi Utomo yang dipelopori oleh salah seorang siswanya, Soetomo (Dr.), dari THS lahirlah Soekarno (Ir.) yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia yang menuntun bangsa ini menuju kemerdekaan.

             Celah sempit yang terbuka di pendidikan tinggi yang lahir dari rahim Politik Etis pada gilirannya menjadi pintu besar yang membuka kesadaran baru rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dengan kelompok intelektual dari perguruan tinggi sebagai intinya. Konsepsi ini kemudian menjadi pembenar bahwa perjuangan melawan penjajah pada periode awal yang menekankan pada perlawanan fisik tidak cukup efektif tanpa keterlibatan kelompok intelektual yang dibina di lembaga pendidikan tinggi, karena dari kelompok inilah kesadaran untuk membangun bangsa yang modern lahir.

            Gagasan pergerakan nasional yang lahir di lembaga pendidikan tinggi jika dilihat dari perspektif kolonial merupakan sebuah anomali karena gagasan awal didirikannya pendidikan tinggi di Indonesia adalah dalam rangka menopang kekuasaan kolonial itu sendiri. Namun dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi awal tersebut telah melahirkan kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat, yang pada awalnya menjadi landasan berdirinya berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, tidak kunjung tiba. Hal ini terjadi karena Politik Etis menyajikan slogan yang indah untuk menutupi metode-metode ekpsloitasi modal raksasa. Secara perorangan mungkin bersikap etis terhadap bangsa Indonesia, akan tetapi perusahaan tidak didasarkan atas motif etis melainkan motif ekonomis.

            Pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial pada gilirannya justru membuka kotak pandora. Hal tu disebabkan karena pendidikan tinggi yang berorientasi Barat, walaupun terbatas pada golongan kecil terutama dari golongan aristokrat tradisional dan dimaksud untuk menghasilkan pegawai, pada gilirannya telah menimbulkan elit intelektual baru. Elit inilah yang kemudian menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Pendidikan tinggi yang pada awalnya dipenuhi gagasan asimilasi untuk mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia pada kenyataannya justru menjauhkan mereka.

            Perubahan drastis pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia tejadi ketika Belanda bertekuk lutut kepada tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang yang dihinggapi sikap paranoid kepada bangsa Barat melakukan proses de-eropanisasi secara cepat. Bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa sehari-hari maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ribuan buku referensi berbahasa Belanda dilarang digunakan di sekolah-sekolah, dan ada kemungkinan dihancurkan, yang kemudian diganti dengan buku-buku berbahasa Indonesia. Dilihat dari aspek pengembangan bahasa Indonesia, kebijakan tersebut menguntungkan, namun dilihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan kebijakan tersebut sangat merugikan karena buku-buku yang dimusnahkan tidak mendapatkan gantinya yang setara. Pada tahun 1942 semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia ditutup untuk beberapa saat, sampai kemudian dibuka kembali dengan corak yang amat berbeda. Jaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pendidikan dan pengajaran jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

            Pembukaan kembali beberapa perguruan tinggi di Indonesia dilakukan pada tahun 1943 setelah kurang lebih satu tahun pemerintah pendudukan Jepang berkuasa. Seperti halnya pemerintah kolonial Belanda, tujuan pembukaan kembali perguruan tinggi oleh Jepang juga dalam rangka mobilisasi kaum terdidik untuk mendukung perang yang dibayangkan akan berakhir dengan bersatunya kawasan Asia dibawah pimpinan Jepang. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka pada periode ini antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari Geneeskundige Hogeschool dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung yang merupakan kelanjutan dari Technische Hogeschool. Di samping itu Jepang juga membuka pula Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta, yang mirip dengan lembaga serupa pada masa kolonial Belanda yang disebut OSVIA, serta membuka Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.

            Pembukaan kembali lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki aspek strategis bagi pemerintah pendudukan Jepang. Menurut Jepang melalui lembaga pendidikan akan dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Adapun keberhasilan konsepsi tersebut sangat tergantung kepada kemenangan dalam “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karena itu segala usaha harus ditujukan kepada memenangkan perang itu. Dari beberapa perguruan tinggi yang dibuka tersebut yang nampak menonjol peranannya pada periode ini adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Tradisi “memberontak” yang sudah berlangsung di lembaga pendidikan ini pada masa kolonial Belanda nampaknya diteruskan oleh para mahasiswa Ika Daigaku walaupun dengan corak, strategi, dan bentuk yang berbeda.

            Pemerintahan pendudukan Jepang yang sangat militeristik yang merupakan ciri dari pemerintahan fasis merembet pula ke dalam lembaga pendidikan tinggi. Hampir tidak ada celah sedikitpun bagi para mahasiswa untuk mengobarkan semangat nasionalisme karena para pemangku perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dengan disiplin militer yang amat ketat. Walaupun nampak tidak ada celah, para mahasiswa yang pernah dididik di lembaga pendidikan pada masa kolonial Belanda tetap memiliki tak-tik dan strategi yang jitu untuk melawan pemerintah pendudukan Jepang walaupun tidak secara terang-terangan, alias perlawanan dari bawah tanah. Dinamika perlawanan bawah tanah oleh kelompok intelektual dari perguruan tinggi pada masa pendudukan Jepang telah menciptakan mitos tentang Kelompok Mahasiswa Prapatan 10 yang legendaris. Kelompok tersebut menjadi pelopor perlawanan mahasiswa terhadap aturan penggundulan rambut bagi mahasiswa Ika Daigaku yang dirasakan sangat menghina martabat bangsa Indonesia. Walaupun perlawanan tersebut kurang bergema secara nasional, namun gerakan dalam celah yang amat sempit itu telah menjadi sebuah simbol tentang perlunya membela martabat bangsa di tengah sistem pemerintahan militer yang amat represif.

Perlawanan mahasiswa pada masa pendudukan Jepang tidak pernah terlembaga dengan baik serta  mampu mengobarkan semangat nasionalisme yang terlembaga pula. Namun demikian sistem pendidikan yang dikembangkan pada periode ini pada gilirannya akan berperan penting bagi periode sesudahnya, yaitu periode  kemerdekaan, terutama menyangkut sumber daya manusia yang berhasil digodok di perguruan tinggi pada waktu itu walaupun hanya dalam waktu yang relatif singkat. Alumni perguruan tinggi periode Jepang menjadi generasi yang siap mengendalikan roda pemerintahan yang masih sangat baru. Hal tersebut tidak saja karena mereka dibekali dengan dengan ilmu kemiliteran yang sangat penting pada periode awal kemerdekaan, namun yang paling penting adalah karena mereka merupakan generasi yang paling dekat dengan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh penting yang lahir dari rahim perguruan tinggi periode Jepang, utamanya dari Ika Daigaku antara lain adalah Soedjatmoko, Mahar Mardjono, Hasan Sadikin, Soedarpo Sastrosatomo, dan lain-lain yang masing-masing memiliki peranan yang amat besar pada masa awal kemerdekaan.

            Di tengah-tengah pusaran pemerintahan Jepang yang militeristik dan amat menekan sekelompok orang dari golongan Islam mencoba memanfaatkan situasi yang sedikit longgar untuk memikirkan pendidikan tinggi yang lebih bercorak Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai Islam. Hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu dapat dikatakan cukup baik, karena pemerintah pendudukan Jepang nampaknya ingin mengambil hati kelompok ini untuk membela kepentingan mereka. Jepang membiarkan, atau bahkan mendukung, ketika gabungan organisasi-organisasi Islam di Indonesia mendirikan Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia yang disingkat Masjoemi, yang merupakan kelanjutan dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibubarkan pada tahun 1943.

            Pada tanggal 1 April 1945, beberapa bulan menjelang Jepang bertekuk lutut, tokoh-tokoh Masjoemi berhasil merealisasikan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di Jakarta. STI merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal mahasiswa STI bukan hanya dari kalangan Islam saja, karena beberapa orang mahasiswa ternyata beragama Protestan.

            Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut setelah dua kota penting, Hiroshima dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menyusul menyerahnya Jepang, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bagian dari proses Indonesianisasi dari semua sistem yang ada di Indonesia, pemerintah Indonesia kemudian membubarkan Ika Daigaku dan mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Proses pendidikan yang berlangsung di lembaga pendidikan ini berlangsung dengan amat memprihatinkan dengan berbagai kekurangan di sana-sini. Ketika proses pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengah berlangsung gelombang perang muncul yang didahului dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin mengamankan tawanan Jepang, antara bulan September dan Oktober 1945 pasukan Sekutu memasuki kota-kota besar di Indonesia.[6] Di Jakarta pendaratan masukan Sekutu disambut dengan kontak senjata oleh rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu membuat kegaduhan. Rakyat Indonesia yang mencurigai adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu dengan menyelundupkan tentara Belanda menjadi marah. Di mana-mana kedatangan pasukan Sekutu memunculkan peperangan. Akibatnya kota Jakarta menjadi tidak aman. Pada bulan Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindah dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Kondisi ini berpengaruh juga terhadap jalannya proses pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Agar proses pendidikan tetap berjalan, bersamaan dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia maka diungsikan pula Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dengan cara menyebar tempat perkuliahan di tiga kota yaitu di Solo, Klaten, dan Malang.[7] STI yang baru beberapa bulan menyelenggarakan perkuliahan di Jakarta juga mengikuti jejak Ibukota Republik Indonesia, memindahkan tempat perkuliahannya di Yogyakarta. STI membuka kembali perkuliahannya pada tanggal 10 April 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta.

Dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta maka Jakarta berada dalam kekuasaan pasukan Sekutu, tetapi secara de facto kota itu sebenarnya dibawah kekuasaan pasukan Belanda. Seperti kita ketahui bersamaan dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia, masuk pula tentara Belanda. Mereka kemudian melakukan pengoperan pemerintahan di tempat-tempat yang telah dikuasainya. Dengan dalih untuk menghindari bentrokan-bentrokan dengan rakyat Indonesia, maka panglima pasukan Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison menarik pasukan Belanda lama yang baru saja mendarat di Indonesia Timur ke Jawa.[8] Akibatnya kota-kota penting di Jawa segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda. Namun kedatangan tentara Belanda di Jawa, khususnya di Jakarta justru malah memancing perlawanan yang lebih besar dari rakyat setempat. Di tengah berkecamuknya perang, Belanda menduduki  kantor-kantor pemerintahan yang penting.

Di sektor pendidikan, Belanda juga mencoba menghidupkan lagi perguruan tinggi yang ditinggal mengungsi oleh otoritas yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Pada bulan Januari 1946, beberapa saat setelah Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Belanda mendirikan De Nood-universiteit, atau universitas darurat. Disebut sebagai universitas darurat karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan.[9] Universitas darurat ini memiliki lima fakultas dengan tempat kedudukan yang terpisah, yaitu fakultas kedokteran, fakultas hukum, fakultas sastra dan filsafat berkedudukan di Jakarta, fakultas pertanian berkedudukan di Bogor, dan fakultas teknik berkedudukan di Bandung menempati bekas Technische Hogeschool.

Pada saat yang bersamaan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta juga menghidupkan kembali perguruan tinggi dengan mendirikan  Universitas Gadjah Mada pada tahun 1946 yang pada awalnya dikelola oleh sebuah yayasan yang diselenggarakan oleh beberapa tokoh pendidikan.[10] Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan bagian depan istananya (pagelaran) sebagai tempat perkuliahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ketika kuasaan Belanda di wilayah-wilayah pendudukan di Jawa semakin mantap, mereka juga mencoba memantapkan posisi mereka di bidang pendidikan tinggi. Pada bulan Maret 1947 De Nood-universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesia. Pada tahun yang bersamaan kekuasaan Belanda di Indonesia juga semakin kuat dengan dukungan militer yang kuat pula. Dengan sangat percaya diri pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Dengan gerak cepat pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Peristiwa ini kemudian memaksa Indonesia dan Belanda untuk menuju ke meja perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Perjanjian ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai “garis van Mook”, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda. Garis imajiner tersebut secara politis telah membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.

Secara kebetulan hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh Belanda pada masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Perletakan secara politis inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengembangkan Universiteit van Indonesia dengan membuka fakultas baru di wilayah pendudukan, yaitu di Surabaya dan di Makassar. Pada tanggal 1 Agustus 1948 di Surabaya dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan memanfaatkan peralatan dan gedung yang pada masa kolonial ditempati oleh NIAS. Di tempat yang sama Belanda juga membuka Tandheelkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Gigi). Fakultas Kedokteran yang berkedudukan di Surabaya pada awalnya dipimpin oleh Prof. Dr. A.B. Droogleever Fortuyn. Pada tanggal 8 Oktober 1948 di Makassar dibuka Faculteit der Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi).[11] Pendirian beberapa fakultas di kota yang berbeda, secara politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan cukup kuat.

Pada saat yang hampir bersamaan perguruan tinggi yang berada di wilayah Republik Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta juga melakukan bebagai konsolidasi agar perguruan tinggi pertama di wilayah Republik Indonesia tersebut berkembang dengan baik. Beberapa fakultas yang tersebar di beberapa daerah republik seperti Yogyakarta, Klaten, dan Solo dilebur menjadi satu. Pada tanggal 19 Desember 1949 secara resmi berdirilah Universitas Gadjah Mada yang berada dalam naungan Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Yogyakarta. Universitas ini menjadi universitas negeri pertama yang berada di wilayah Republik Indonesia pada saat wilayah Indonesia terpecah-belah secara politis dan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Pendirian Universitas Gadjah Mada sebagai sebuah institusi yang utuh tidak bisa dilepaskan dengan Konferensi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di kota Yogyakarta yang berlangsung pada 25 April sampai 1 mei 1947. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa salah satu masalah yang menghalangi kemajuan perguruan tinggi ialah karena perguruan tinggi yang telah ada pada waktu itu tidak bernaung di bawah satu kementrian. Ada yang masuk Kementrian kesehatan, Kementrian Pengajaran, Kementrian Kemakmuran, dan ada yang berada di bawah pengelolaan swasta. Konferensi menyarankan kepada pemerintah agar perguruan tinggi yang terpisah-pisah tersebut disatukan. Hasilnya adalah Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh Kementrian Pengajaran.

Sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Nopember 1949. Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada lahir. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-fakultasnya yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara Indonesia Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Gigi).

Republik Indonesia Serikat hanya bertahan kurang dari satu tahun karena menguatnya sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme pada umumnya dicurigai karena asalnya jelas sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Pemecah-belahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis memiliki dampak yang amat besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia karena eksistensi perguruan tinggi di wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah di wilayah Republik dan di wilayah federal. Perguruan tinggi di wilayah Republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah orang-orang Indonesia (Bumiputera) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas, sedangkan perguruan tinggi yang berada di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan staf pengajar yang hampir semuanya orang-orang Belanda yang cakap. Mereka juga sudah menempati gedung-gedung yang megah peninggalan masa kolonial. Keterpisahan pengelolaan perguruan tinggi tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang belajar di dua wilayah yang berbeda secara politis tersebut. Mahasiswa yang belajar di Universitas Gadjah Mada yang terletak di wilayah republik di Yogyakarta pada umumnya amat bangga. Kebanggaan itu lahir karena mereka belajar diwilayah “sendiri” Republik Indonesia dan di wilayah perjuangan. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai republiken, orang/mahasiswa republik.

Kuatnya sentimen pro-Republik telah mendorong bubarnya negara-negara federal. Sebagian besar rakyat di negara-negara federal buatan Belanda menghendaki agar kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia. Keinginan itu akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1950. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan.

Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin memantapkan posisinya menjadi universitas nasional. Sementara itu Universiteit van Indonesia yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia. Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat. Timbulnya perasaan semacam itu diikuti dengan penjungkirbalikan simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan romantisme masa kolonial yang menyengsarakan. Akibatnya simbol-simbol yang berbau kolonial dihancurkan dan diganti dengan simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia. Pengelolaan universitas tersebut juga berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia. Sampai lahirnya Universitas Airlangga pada tahun 1954, Indonesia pada waktu itu hanya memiliki dua perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitet Indonesia.

Indonesia terlahir sebagai sebuah negara kepulauan yang wilayahnya amat luas dan terbagi-bagi secara adminsitratif yang bertumpang tindih dengan suku-suku. Sentimen antar daerah dan suku amat tinggi walaupun konsepsi dasanya adalah negara kesatuan. Oleh karena itu sistem pendidikan harus didasarkan pada keadilan secara merata atas wilayah-wilayah administratif, jika pembagian secara kesukuan tidak memungkinkan karena banyaknya suku bangsa di Indonesia. Hal itu disadari betul oleh para pemangku pendidikan pada periode awal. Pendidikan tinggi diarahkan menjadi salah satu perekat bangsa, oleh karena itu antara tahun 1950-an sampai tahun 1980-an pemerintah Indonesia menggenjot pendirian universitas-universitas di hampir semua propinsi di Indonesia. Di beberapa kota besar yang merupakan simpul ke-Indonesiaan diusahakan berdiri satu perguruan tinggi negeri.

Perluasan universitas-universitas di Indonesia direalisasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 1 September 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Hasanuddin di Makassar, Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Andalas di Bukittinggi, Peraturan Pemerintah No. 37 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Padjadjaran, serta Peraturan Pemerintah No. 48 tanggal 1 September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Sumatera Utara di Medan. Selama periode 1950-an jumlah PTN yang didirikan berjumlah 12 buah. Pada periode ini perintisan pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru juga mulai dilakukan. Pada periode ini IKIP Bandung berdiri. Pada saat yang sama IKIP Malang dan IKIP Padang juga didirikan. Pada awalnya pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru tersebut masih merupakan bagian dari universitas, sebagai fakultas ilmu pendidikan. IKIP Malang merupakan bagian dari Universitas Airlangga Surabaya.

Pada periode ini bangsa Indonesia telah mengukuhkan bahwa universitas yang sudah tersebar di banyak kota besar merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka. Oleh karena itu ketika sentimen anti Belanda yang menguat pada akhir tahun 1950-an akibat diabaikannya hasil Konferensi Meja Bundar mengenai status Irian Barat, hal itu juga merembet ke universitas-universitas. Bahasa Belanda yang pada waktu itu masih diajarkan di beberapa fakultas di perguruan tinggi sempat dihentikan. Di Surabaya buku-buku referensi berbahasa Belanda sempat dikumpulkan dan akan dibakar, namun hal tersebut bisa dicegah. Beberapa universitas yang pada waktu itu masih memanfaatkan tenaga pengajar berkebangsaan Belanda bahkan sempat memulangkan dosen yang bersangkutan ke negerinya. Situasi ini menggambarkan bahwa perguruan tinggi pada saat-saat tertentu rentan terhadap intervensi politik. Hal ini tercermin pula pada masa Demokrasi Terpimpin, dimana perguruan tinggi juga terlibat secara aktif dalam proses penyebaran gagasan pribadi presiden yang dilembagakan oleh negara.

Peran penting perguruan tinggi pada awal kemerdekaan selain menjadi simbol persatuan bangsa juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang berkepanjangan. Pada tahun 1951 ketika pemerintah menghadapi desakan karena kekurangan tenaga guru SMA di luar Jawa, perguruan tinggi di Jawa secara serentak membentuk proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Selama kurang lebih sepuluh tahun program ini telah mengirim tidak kurang dari 1.600 mahasiswa dari universitas-universitas di Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa. Mereka ditempatkan di sekitar 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar Jawa. Keterlibatan secara intensif perguruan tinggi ke dalam dinamika masyarakat telah mengukuhkan lembaga tersebut bukan sebagai menara gading. Perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat, maka apapun yang menjadi keinginan sudah sewajarnyalah dikawal oleh perguruan tinggi.

Keterlibatan dunia perguruan tinggi pada setiap momen yang melibatkan masyarakat luas telah membuat pendidikan tinggi di Indonesia semakin memiliki bentuk dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Menyatunya perguruan tinggi dengan masyarakat kemudian dilembagakan dalam bentuk Tridharma Perguruan Tinggi, yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat melalui Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Pelembagaan keterlibatan perguruan terhadap dinamika masyarakat diperkuat dengan jargon bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan. Berkaca pada perjalanan sejarah lembaga tersebut, setiap perubahan besar di Indonesia sekurang-kurangnya melibatkan civitas academica, terutama sejak pendidikan tinggi mulai eksis. Maka tidak mengherankan jika goncangan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an juga melibatkan perguruan tinggi.

Berbagai ketidakberesan penyelenggaraan negara telah mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam pengoreksian secara total atas sistem yang berlaku. Organisas-organisasi mahasiswa baik organisasi ekstra maupun intra kampus bekerja sama dengan elemen masyarakat lain bahu-membahu melakukan pengkajian secara kritis, baik secara akademis maupun secara praktis dengan cara turun ke jalan. Hasilnya adalah sebuah perubahan politik mendasar pada tahun 1966 yang berjalan atas dorongan civitas academika di seluruh Indonesia. Pada saat goncangan politik melanda Indonesia, aspek pendidikan tetap merupakan prioritas pemerintah. Pada periode 1960-an perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah didirikan di mana-mana. Jumlahnya mencapai 29 buah. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik yang dari hari ke hari semakin meningkat.  Hal ini menandakan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pembangunan negara semakin memadai setelah beberapa tahun sebelumnya dilanda peperangan besar.

Perubahan paradigma penyelenggaraan negara mengiringi perubahan politik yang drastis. Indonesia memasuki sebuah periode yang kemudian populer sebagai periode Orde Baru. Indonesia yang pada periode sebelumnya terkesan mengurung diri dan anti terhadap modal asing secara berlahan-lahan membuka diri. Salah satu kebijakan ekonomi yang penting adalah membuka diri atas modal asing. Modal asing adalah elemen yang amat penting untuk menjalankan roda pembangunan. Kata “pembangunan” berkembang menjadi kata yang elitis dan digunakan oleh penguasa baru sebagai alat untuk merancang program apa saja yang mereka kehendaki. Perguruan tinggi sebisa mungkin juga diarahkan sebagai bagian dari paradigma baru tersebut. Masalah modal asing dan masalah pembangunan disikapi secara berbeda-beda oleh civitas academika. Sebagian mahasiswa bahwa curiga bahwa kebijakan untuk membuka masuknya modal asing secara tidak terkendali merupakan upaya menjual bangsa secara terselubung. Gerakan anti modal Jepang yang didengungkan oleh mahasiswa pada awal tahun 1970-an berubah menjadi malapetaka yang hampir saja menghanguskan ibukota negara pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa tersebut harus dipahami sebagai bagian dari sikap kritis civitas academica untuk melakukan berbagai ketidakberesan yang melanda bangsa. Pada periode ini perguruan tinggi sering dijadikan alat oleh perorangan atau kelompok tertentu untuk memuluskan keinginan politik mereka. Dalam beberapa hal, kondisi ini sering merugikan perguruan tinggi. Mahasiswa sering menjadi korban ambisi orang tertentu. Hal ini tentu saja menjadi kontraproduktif.

Terlepas dari segala kekurangan yang terjadi, pada era Orde Baru perguruan tinggi di Indonesia mengalami perkembangan yang amat pesat. Pendidikan tinggi memainkan peranan yang penting untuk mengisi setiap elemen negara. Pada periode ini pendidikan tinggi dilembagakan dalam satu direktorat jenderal tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pelembagaan pendidikan tinggi dalam lingkup keorganisasian tersendiri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terkandung maksud agar koordinasi antar perguruan tinggi lebih tertata.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan aspek pembangunan, perguruan tinggi diharapkan juga ikut bertanggung jawab atas pembangunan nasional. Hal ini menjadi kebijakan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi yang digariskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975. Secara teknis kebijakan tersebut dimaksudkan bahwa pendidikan tinggi harus memerankan diri sebagai penyedia tenaga ahli untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan kebijakan ini maka peran yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi harus sejalan dengan program-program yang digulirkan oleh pemerintah. Penambahan jumlah perguruan tinggi negeri juga terus dilakukan, sampai pada akhirnya semua propinsi memiliki perguruan tinggi, bahkan di beberapa propinsi jumlah perguruan tinggi negeri ada yang lebih dari tiga buah. Hal tersebut menandakan bahwa minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi semakin tinggi.

Selama duabelas tahun pertama pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Rencana pembangunan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah telah disokong oleh melonjaknya harga minyak pada tahun 1970-an. Berkah ini menetes pula kepada pendidikan tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa telah membuka lapangan kerja yang luas. Permintaan tenaga ahli lulusan universitas dari berbagai lembaga pemerintah dan swasta meningkat drastis. Hal itu tidak bisa dipenuhi secara maksimal oleh perguruan tinggi negeri. Kementrian pendidikan membuka kesempatan yang luas kepada perorangan, yayasan, pemerintah daerah, dan lembaga lain untuk mendirikan perguruan tinggi swasta. Dengan kebijakan tersebut maka selama periode 1980-an perguruan tinggi swasta tumbuh di mana-mana, bahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama jumlahnya meningkat drastis berlipat-lipat melampaui jumlah perguruan tinggi negeri. Selama periode 1980-an jumlah PTS yang berdiri di seluruh Indonesia sudah lebih dari seribu buah.

Pertumbuhan PTS yang demikian pesat tentu saja berdampak positif karena akan membuka peluang yang lebih luas bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Lulusan sekolah menengah yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri karena terbatasnya daya tampung dari lembaga tersebut kemudian disalurkan ke perguruan tinggi swasta. PTS berperan besar dalam menaikan angka partisipasi pendidikan tinggi. Untuk mempermudah koordinasi antar PTS serta untuk mengontrol kualitas proses belajar-mengajar di lembaga tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengelompokkan perguruan tinggi swasta berdasarkan zona tertentu. Masing-masing kelompok dibina oleh sebuah lembaga yang namanya Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Penyetaraan lulusan PTS juga dilakukan dengan ujian negara. Penyelenggaraan ujian negara bagi mahasiswa PTS bertujuan untuk mengontrol kualitas alumni PTS sehingga setara dengan lulusan perguruan tinggi negeri.

Meskipun perluasan PTS sangat menguntungkan bagi peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi akan tetapi hal ini mempunyai resiko yang besar terhadap mutu dan relevansi. Pada pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan drastis ketika jumlah mahasiswa PTS melampaui jumlah mahasiswa PTN. Selanjutnya pada awal tahun 1990-an jumlah lulusan PTS telah melampaui jumlah lulusan PTN. Kondisi ini memunculkan problem tersendiri mengingat dalam beberapa kasus kualitas mahasiswa PTS banyak yang berada di bawah standar.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka Ditjen Dikti secara sungguh-sungguh melakukan pembinaan mutu PTN dan PTS secara intensif. Usaha yang menonjol antara lain melalui pembenahan masukan-masukan instrumental yang menentukan mutu, di antaranya melengkapi berbagai sarana dan prasarana, meningkatkan mutu dosen, membenahi sistem pengendalian mutut melalui intsrumen-instrumen seperti sistem evaluasi, melakukan akreditasi melalui Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT), dan lain-lain. Peningkatan mutu dosen dilakukan dengan mendorong para dosen untuk melakukan studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk pendidikan di dalam negeri Ditjen Dikti mendorong perguruan tinggi yang sudah memiliki tenaga dosen yang memiliki syarat dan kualitas tertentu untuk mendirikan program pascasarjana. Program pascasarjana inilah yang akan mendidik dosen-dosen pada jenjang S2 dan S3, terutama untuk dosen-dosen yang tidak memiliki kesempatan belajar di luar negeri.

Formula pembiayaan studi lanjut bagi para dosen di dalam negeri dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan mendirikan Tim Menejemen Program Doktor (TMPD) dan kemudian dilanjutkan dengan diciptakannya BPPS. Untuk pembiayaan pendidikan di luar negeri Ditjen Dikti membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi dosen yang berminat untuk mencari beasiswa yang banyak disediakan oleh lembaga dan perguruan tinggi di luar negeri. Berbagai kerjasama antar negara dalam rangka pengiriman dosen juga dilakukan. Hasilnya cukup baik, ribuan dosen berhasil menempuh studi lanjut baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Secara umum penggunaan anggaran di Ditjen Dikti dilakukan dengan metode yang dikenal dengan istilah Planning, Programming, Budgeting System (PPBS) sebagaimana dikemukakan oleh Diriektur Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1975. Alokasi keseluruhan anggaran ditentukan dengan mempertimbangkan problematik serta urgensi sesuai dengan Kebijakan Dasar Perngembangan Pendidikan Tinggi.

Pengiriman dosen untuk studi lanjut di luar negeri menjadi bekal yang kuat untuk mendorong perguruan tinggi di Indonesia agar setara dengan perguruan tinggi di luar negeri. Dengan kata lain dosen-dosen yang telah mengikuti studi lanjut menjadi modal bagi perguruan tinggi menuju world class university, perguruan tinggi berkelas dunia.

Sesuai dengan rumusan jati diri pendidikan tinggi yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi, salah satu rumusannya adalah bahwa perguruan tinggi merupakan pusat riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan rumusan tersebut maka dosen di perguruan tinggi bukan hanya memerankan diri sebagai seorang guru yang bertugas untuk melakukan diseminasi ilmu pengetahuan. Seorang dosen juga merupakan seorang peneliti yang bertugas untuk menggali ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang telah digali tersebut kemudian didiskusikan secara kritis baik di kelas-kelas perkuliahan maupun di forum-forum diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain. Untuk mendukung riset-riset di perguruan tinggi Ditjen Dikti menciptakan berbagai program, baik berupa program pebiayaan riset secara kompetitif, berbagai pelatihan, maupun berbagai penyediaan fasilitas riset. Hibah-hibah penelitian ditawarkan kepada seluruh dosen, baik dosen PTN maupun dosen PTS. Dengan model semacam ini para dosen dipacu untuk berlomba-lomba melakukan penelitian baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan sesuai bidang masing-masing. Fasilitas laboratorium didirikan di seluruh universitas. Salah satu fasilitas penelitian yang diharapkan digunakan bersama sekaligus menjadi pusat penelitian (research center) adalah pendirian Pusat Antar Universitas (PAU) yang didirikan di beberapa perguruan tinggi, antara lain di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin pada akhir tahun 1980-an. Berbagai aktifitas penelitian bersama antar perguruan tinggi dipusatkan di PAU.

Untuk lebih meningkatkan kemampuan meneliti maka dilakukan kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga riset di dalam negeri dan di luar negeri. Di dalam negeri kerjasama riset dilakukan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementrian Riset dan Teknologi beserta lembaga yang ada di bawahnya, serta pusat-pusat penelitian yang berada di bawah kementrian lain. Kerja sama dengan universitas luar negeri dilakukan dalam kerangka penelitian bersama. Berbagai kebijakan untuk mendorong perguruan tinggi sebagai pusat riset telah menghasilkan beberapa capaian. Salah satu prestasi yang membanggakan bangsa indonesia misalnya kontes-kontes robot tingkat dunia yang selalu dimenangkan oleh mahasiswa Indonesia. Pengakuan internasional terhadap kualitas riset ilmu sosial diwujudkan dengan pelatihan riset ilmu sosial yang pernah dilakukan di Aceh dan di Makassar yang didukung oleh lembaga internasional. Tidak sedikit hasil riset dari berbagai perguruan tinggi yang berhasil dipatenkan dan diakui secara internasional.

Salah satu kendala yang dialami oleh perguruan tinggi pada masa Orde Baru ada sistem operasional yang sangat birokratis. Seluruh organ perguruan tinggi dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat dengan sangat sentralistik. Akibatnya gerak perguruan tinggi kurang luwes. Padahal untuk menuju perguruan tinggi yang bermutu dan setara dengan perguruan tinggi lain pada tingkat internasional diperlukan kecekatan dari perguruan tinggi yang bersangkutan untuk mengambil kebijakan. Dengan sistem yang sentralistik dan birokratik maka gerak langkah perguruan tinggi menjadi lamban. Seluruh dana yang dikumpulkan oleh perguruan tinggi dari masyarakat melalui formula SPP harus disetor terlebih dahulu ke kas negara. Jika perguruan tinggi yang bersangkutan membutuhkan dana mereka harus menunggu penjatahan (dropping) terlebih dahulu dari pemerintah. Padahal kebutuhan pendanaan di perguruan tinggi bersifat fleksibel dan tidak tahu waktu. Jika kebutuhan yang mendesak harus menunggu terlebih dahulu keputusan dari pemerintah maka banyak kesempatan yang mestinya bisa diraih oleh perguruan tinggi menjadi hilang. Pada awal era reformasi hal tersebut menjadi salah satu topik perbincangan yang dilakukan oleh Ditjen Dikti dengan praktisi pendidikan dan pimpinan perguruan tinggi.

Kesimpulan dari diskusi yang membahas mengenai perguruan tinggi salah satunya adalah bahwa perguruan tinggi mestinya diberi kebebasan untuk mengelola anggaran tanpa menggantungkan diri kepada pemerintah. Untuk menopang operasional perguruan tinggi hendaknya lembaga ini diberi kekebasan untuk mengelola anggaran. Perbincangan dan tuntutan semakin mengemuka manakala gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa bergulir. Ketika gerakan reformasi berhasil menggulingkan pemerintah Orde Baru salah satu tuntutan yang mengemuka pada pendidikan tinggi adalah merealisasikan gagasan mengenai otonomi perguruan tinggi. Dari sinilah lahir kebijakan menjadikan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Inti dari kebijakan ini adalah perguruan tinggi diberi kebebasan untuk mengelola anggaran yang dibutuhkan tanpa campur tangan pemerintah. Mereka juga diberi hak untuk mencari dana dari sumber-sumber lain yang syah untuk digunakan sebagai biaya operasional. Tujuan lain pemberian otonomi perguruan tinggi adalah agar perguruan tinggi memiliki keluwesan dalam mengembangkan institusinya. Salah satu aspek penting dari pengembangan perguruan tinggi adalah agar lembaga ini bisa sejajar dengan lembaga sejenis di luar negeri. Dengan kata lain perguruan tinggi di Indonesia hendaknya mampu menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.

Merealisasikan gagasan otonomi perguruan tinggi dalam bingkai BHMN bukanlah hal yang mudah. Perguruan tinggi di Indonesia meruapakan perguruan tinggi yang selama ini murni dibiayai dan dibina oleh pemerintah. Oleh karena itu pemberian status BHMN kepada perguruan tinggi tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba dan tergesa-gesa. Pada tahun 2000 mulai diujicobakan status BHMN kepada lima perguruan tinggi negeri di Indonesia, masing-masing adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Lima perguruan tinggi tersebut dianggap yang paling siap untuk ditetapkan sebagai perguruan tinggi BHMN dengan status otonom. Tujuh tahun kemudian tepatnyaawa tahun 2007 dua perguruan tinggi lain menyusul diberi status perguruan tinggi BHMN yaitu Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi terbukti mampu menggenjot kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Dari berbagai riset yang dilakukan oleh lembaga internasional beberapa perguruan tinggi masuk ke peringkat dunia. Hal tersebut membuktikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi di luar negeri. Untuk terus meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia Ditjen Dikti terus-menerus mendorongnya dengan perbagai program yang diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi. Program-program tersebut diharapkan dapat menjadikan perguruan tinggi di Indonesia masuk menjadi world class university.

Salah satu program unggulan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti adalah meningkatkan taraf pendidikan dosen sampai jenjang doktor. Pada periode mendatang dosen di seluruh perguruan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan doktor (S3). Untuk memenuhi kebijakan itu maka Direktorat Ketenagaan Ditjen Dikti mengirim ribuan dosen ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan master dan doktor. Dengan program tersebut maka diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional.


[1] H.F. Tillema, Kromoblanda: Over’t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote Land, 6 Jilid, (’s-Gravenhage: Uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923)

[2] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), Peringatan 70 Tahun Pendidikan Dokter di Surabaya, (Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1983), hlm. 20

[3] D.M.G. Koch, Menudju Kemerdekaan, (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1951), hlm. 42-43

[4] Sebagai contoh misalnya, pada tingkat pendidikan dasar anak-anak bumiputera kebanyakan hanya bisa sekolah di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse), anak-anak dari pemuka-pemuka, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang terhomat bumiputera dapat sekolah di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Eerste Klasse). Pada perkembangan selanjutnya pemerintah kolonial mendirikan sekolah untuk anak-anak tokoh bumiputera de perkotaan yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sedangkan anak-anak Eropa bersekolah di Europeesch Lagere School (ELS). Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 94

[5] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), op.cit., hlm. 20

[6] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 324

[7] Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), op.cit., hlm. 22

[8] Ricklefs, op.cit., hlm. 324

[9] Anonim, Universiteit van Indonesie, Gids voor het Academiejaar 1949-1950, (Batavia: Landsdrukkerij, 1950), hlm. 6

[10] Perguruan tinggi ini menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada yang sebenarnya, yang secara resmi berdiri tahun 1949

[11] Anonim, Universiteit van Indonesie, Gids voor het Academiejaar 1949-1950, (Batavia: Landsdrukkerij, 1950), hlm. 78 dan 83.
Baca selengkapnya »

Support

Copyright © 2011 PC PMII Kabupaten Karimun

Template N2y Shadow By Nano Yulianto